Kamis, 07 Agustus 2014

Cerita Pendek Prahara Pembantu Rumah Tangga

Foto Ilustrasi
Atun adalah seorang pembantu rumah tangga seksi yang masih lumayan muda, usianya baru sekitar 23 tahun. Mempunyai tinggi badan yang tidak begitu tinggi namun lumayan montok.
Pembantu muda yang didatangkan dari sebuah yayasan penyalur tenaga kerja ini mempunyai sifat yang lumayan genit. Apalagi ditunjang dengan lirikannya yang lumayan nakal.

Ia bekerja pada seorang eksekutif muda sukses yang telah beristri.
Diceritakan dalam cerita dewasa ini, atun ternyata memiliki ketertarikan dengan sang majikan.
Apalagi status atun yang baru saja kawin namun harus ditinggal suaminya bekerja sebagai TKI karena desakan ekonomi keluarga.

Otomatis, gairah dan nafsu atun masih sangat menggebu-gebu.
Ia mungkin belum puas dengan belaian seorang lelaki. Hanya beberapa bulan saja ia sempat disentuh oleh suaminya. Oleh karena itu, mengetahui majikannya merupakan seorang pria yang lumayan perkasa, atun segera saja terangsang birahinya.

Terbukti dengan kenekatan atun mengintip majikan lelakinya yang sedang mandi. Sebenarnya, sedari awal sang majikan sudah memperhatikan bahwa pembantu barunya itu suka sekali memperhatikan bagian bawah tubuhnya, di sekitar celananya. Dan keyakinannya semakin bertambah tebal bahwa si atun ingin disetubuhi saat mengetahui dirinya sedang diintip saat sedang mandi. Segera saja sang manjikan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati tubuh muda pembantunya.
Tentu saja secara diam-diam tanpa sepengetahuan istrinya. Rupanya hasrat sang pembantu sangat klop dengan hasrat sang majikan. Jadilah mereka berdua saling menikmati tubuh masing-masing di atas ranjang.

Adik Kandung Yang DiPuaskan Nafsu Liarku


  - Ini adalah kisah pengalamanku yang sengaja aku beberkan untuk pertama kalinya. Sebut saja namaku Arman, aku sendiri tinggal di Bandung. Kejadian yang aku alami ini kalau tidak salah ingat, terjadi ketika aku akan lulus SMA pada tahun 1998.
Sungguh sebelumnya aku tak menyangka bahwa aku akan meniduri adikku sendiri yang bernama Ratih. Dia termasuk anak yang rajin dan ulet, sebab dia adalah yang memasak dan mencuci pakaian sehari-hari. Ibuku adalah seorang pedagang kelontong di pasar, sedangkan ayahku telah lama meninggal. Entah mengapa Ibu tidak berniat untuk menikah lagi.
Yang ibu lakukan setiap hari adalah sejak jam 4 subuh dia sudah pergi ke pasar dan pulang menjelang magrib, aku pun sekali-sekali pergi ke pasar untuk membantu beliau, itu pun kalau terpaksa sedang tidak punya uang. Sedangkan adikku karena seringnya tinggal di rumah maka dia kurang pergaulan hingga kuperhatikan tampaknya dia belum pernah pacaran. Oh ya, selisih umurku dengan adikku hanya terpaut dua setengah tahun dan saat itu dia masih duduk di kelas 1 SMA.
*****
Baiklah, aku akan mulai menceritakan pengalaman seks dengan adikku ini. Kejadiannya ketika itu aku baru pulang dari rumah temanku Anto pada siang hari, ketika sampai di rumah aku mendapati adikku sedang asyik menonton serial telenovela di salah satu TV swasta. aku pun langsung membuat kopi, merokok sambil berbaring di sofa. Saat itu serial tersebut sedang menampilkan salah satu adegan ciuman yang hanya sebentar karena langsung terpotong oleh iklan. Setelah melihat adegan tersebut aku menoleh kepada adikku yang ternyata tersipu malu karena ketahuan telah melihat adegan tadi di cerita seks dewasa.
"Pantesan betah nonton film gituan" ujarku.
"Ih, apaan sih" cetusnya sambil tersipu malu-malu.
Beberapa menit kemudian serial tersebut selesai jam tayangnya, dan adikku langsung pergi ke WC. Kudengar dari aktifitasnya, rupanya dia sedang mencuci piring. Karena acara di televisi tidak ada yang seru, maka aku pun mematikan TV tersebut dan setelah itu aku ke WC untuk buang air kecil. Mataku langsung tertuju pada belahan pantat adikku yang sedang berjongkok karena mencuci piring.
"Ratih, ikut dulu sebentar pingin pipis nih" sahutku tak kuat menahan.
Setelah aku selesai buang air kecil, pikiranku selalu terbayang pada bongkahan pantat adikku Ratih. Aku sendiri tadinya tak mau berbuat macam-macam karena kupikir dia adalah adikku sendiri, apalgi adikku ini orangnya lugu dan pendiam. Tetapi dasar setan telah menggoyahkan pikiranku, maka aku berpikir bagaimana caranya agar dapat mencumbu adikku ini.
Aku seringkali mencuri pandang melihat adikku yang sedang mencuci, dan entah mengapa aku tak mengerti, aku langsung saja berjalan menghampiri adikku dan memeluk tubuhnya dari belakang sambil mencium tengkuknya. Mendapat serangan yang mendadak tersebut adikku hanya bisa menjerit terkejut dan berusaha melepaskan diri dari dekapanku di cerita seks dewasa.
Aku sendiri lalu tersadar. Astaga, apa yang telah aku lakukan terhadap adikku. Aku malu dibuatnya, dan kulihat adikku sedang menangis sesenggukan dan lalu dia lari ke kamarnya. Melihat hal itu aku langsung mengejar ke kamarnya. Sebelum dia menutup pintu aku sudah berhasil ikut masuk dan mencoba untuk menjelaskan perihal peristiwa tadi.
"Maafkan.. Aa Ratih, Aa tadi salah"
"Terus terang, Aa nggak tahu kenapa bisa sampai begitu"
Adikku hanya bisa menangis sambil telungkup di tempat tidurnya. Aku mendekati dia dan duduk di tepi ranjang.
"Ratih, maafin Aa yah. Jangan dilaporin sama Ibu" kataku agak takut.
"Aa jahat" jawab adikku sambil menangis.
"Ratih maafin Aa. Aa berbuat demikian tadi karena Aa nggak sengaja lihat belahan pantat kamu, jadinya Aa nafsu, lagian kan Aa sudah seminggu ini putus ama Teh Dewi" kataku.
"Apa hubungannya putus ama Teh Dewi dengan meluk Ratih" jawab adikku lagi.
"Yah, Aa nggak kuat aja pingin bercumbu"
"Kenapa sama Ratih" jawabnya.
Setelah itu aku tidak bisa berbicara lagi hingga keadaan di kamar adikku begitu sunyi karena kami hanya terdiam. Dan rupanya di luar mulai terdengar gemericik air hujan. Di tengah kesunyian tersebut lalu aku mencoba untuk memecah keheningan itu.
"Ratih, biarin atuh Aa meluk kamu, kan nggak akan ada yang lihat ini" Adikku tidak menjawab hanya bisa diam, mengetahui hal itu aku mencoba membalikkan tubuhnya dan kuajak bicara.
"Ratih, lagian kan Ratih pingin ciuman kayak di film tadi kan?" bujukku.
"Tapi Aa, kita kan adik kakak?" jawabnya.
"Nggak apa-apa atuh Ratih, sekalian ini mah belajar, supaya entar kalo pacaran nggak canggung"
Entah mengapa setelah aku bicara begitu dia jadi terdiam. Wah bisa nih, gumanku dalam hati hingga aku pun tak membuang kesempatan ini. Aku mencoba untuk ikut berbaring bersamanya dan mencoba untuk meraih pinggangnya. Aku harus melakukannya dengan perlahan. Belum sempat aku berpikir, Ratih lalu berkata..
"Aa, Ratih takut"
"Takut kenapa, Say?" tanyaku.
"Ih, meuni geuleh, panggil Say segala" katanya.
"Hehehe, takut ama siapa? Ama Aa? Aa mah nggak bakalan gigit kok", rayuku.
"Bukan takut ama Aa, tapi takut ketahuan Ibu" jawabnya.
Setelah mendengar perkataannya, aku bukannya memberi alasan melainkan bibirku langsung mendarat di bibir ranum adikku yang satu ini. Mendapat perlakuanku seperti itu, tampak kulihat adikku terkejut sekali, karena baru pertama kalinya bibir yang seksi tanpa lipstick ini dicumbu oleh seorang laki-laki yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Adikku pun langsung mencoba untuk menggeserkan tubuhnya ke belakang. Tetapi aku mencoba untuk menarik dan mendekapkan lebih erat ke dalam pelukanku.
"Mmhh, mmhh.., Aa udah dong" pintanya. Aku menghentikan pagutanku, dan kini kupandangi wajah adikku dan rasanya aku sangat puas meskipun aku hanya berhasil menikmati bibir adikku yang begitu merah dan tipis ini.
"Ratih, makasih yah, kamu begitu pengertian ama Aa" kataku.
"Kalau saja Ratih bukan adik Aa, udah akan Aa.." belum sempat aku habis bicara..
"Udah akan Aa apain" bisiknya sambil tersenyum. Aku semakin geregetan saja dibuatnya melihat wajah cantik dan polos adikku ini.
"Udah akan Aa jadiin pacar atuh. Eh Ratih, Ratih mau kan jadi pacar Aa", tanyaku lagi.
Mendengar hal demikian adikku lalu terdiam dan beberapa saat kemudian ia bicara..
"Tapi pacarannya nggak beneran kan" Katanya sedikit ragu.
"Ya nggak atuh Say, kita pacarannya kalo di rumah aja dan ini rahasia kita berdua aja, jangan sampai temen kamu tau, apalagi sama Ibu" jawabku meyakinkannya. Setelah itu kulihat jam dinding yang ternyata sudah menunjukan jam 4 sore.
"Udah jam 4 tuh, sebentar lagi Ibu pulang. Aa mandi dulu yah", kataku kemudian.
Maka aku pun bangkit dan segera pergi meninggalkan kamar adikku. Setelah kejadian tadi siang aku sempat tidak habis pikir, apakah benar yang aku alami tadi. Di tengah lamunanku, aku dikejutkan oleh suara Ibuku.
"Hayoo ngelamun aja, Ratih mana udah pada makan belum?" kata Ibuku.
"Ada tuh, emang bawa apaan tuh Bu?" aku melihat Ibuku membawa bungkusan.
Setelah aku lihat ternyata Ibu membeli bakso, kemudian Ibuku memangil Ratih dan kami bersama-sama menyantap Baso itu. Untungnya setelah kejadian tadi siang kami dapat bersikap wajar, seolah tidak terjadi apa-apa sehingga Ibuku tidak curiga sedikit pun.
Malamnya aku sempat termenung di kamar dan mulai merencanakan sesuatu, nanti subuh setelah Ibu pergi ke pasar aku ingin sekali mengulangi percumbuan dengan adikku sekalian ingin tidur sambil mendekap tubuh adikku yang montok. Keesokannya rupanya setan telah menguasaiku sehingga aku terbangun ketika Ibu berpamitan kepada adikku sambil menyuruhnya untuk mengunci pintu depan. Setelah itu aku mendekati adikku yang akan bergegas masuk kamar kembali.
"Ehmm, ehmm, bebas nih", ujarku.
Adikku orangnya tidak banyak bicara. Mengetahui keberadaanku dia seolah tahu apa yang ingin aku lakukan, tetapi dia tidak bicara sepatah kata pun. Karena aku sudah tidak kuat lagi menahan nafsu, maka aku langsung melabrak adikku, memeluk tubuh adikku yang sedang membelakangiku. Kali ini dia diam saja sewaktu aku memeluk dan menciumi tengkuknya.
Dinginnya udara subuh itu tak terasa lagi karena kehangatan tubuh adikku telah mengalahkan hawa dingin kamar ini. Kontolku yang mulai ngaceng aku gesek-gesekkan tepat di bongkahan pantatnya.
"Say, Aa pingin bobo di sini boleh kan?" pintaku.
"Idih, Aa genit ah, jangan Aa, entar.."
"Entar kenapa?" timpalku.
Belum sempat dia bicara lagi, aku langsung membalikkan tubuhnya dan langsung aku pagut bibir yang telah sejak tadi siang membuat pikiranku melayang. Aku kemudian langsung mendorongnya ke arah dinding dan menghimpit hangat tubuhnya agar melekat erat dengan tubuhku. Aku mencoba untuk menyingkap dasternya dan kucoba untuk meraba paha dan pantatnya.
Walaupun dia menyambut ciumanku, tetapi tangannya berusaha untuk mencegah apa yang sedang kulakukan. Tetapi aku tersadar bahwa ciumannya kali ini lain daripada yang tadi siang, ciuman ini terasa lebih hot dan mengairahkan karena kurasakan adikku kini pun menikmatinya dan mencoba menggerakkan lidahnya untuk menari dengan lidahku. Aku tertegun karena ternyata diam-diam adikku juga memiliki nafsu yang begitu besar, atau mungkin juga ini karena selama ini adikku belum pernah merasakan nikmatnya bercumbu dengan lawan jenis.
Kini tanpa ragu lagi aku mulai mencoba untuk menyelinapkan tanganku untuk kembali meraba pahanya hingga tubuhku terasa berdebar-debar dan denyut nadiku terasa sangat cepat, karena ini adalah untuk pertama kalinya aku meraba paha perempuan. Sebelumnya dengan pacarku aku belum pernah melakukan ini, karena Dewi pacarku lebih sering memakai celana jeans. Dengan Dewi kami hanya sebatas berciuman.
Kini yang ada dalam pikiranku hanyalah satu, yaitu aku ingin sekali meraba, menikmati yang namanya heunceut (vagina dalam bahasa Sunda) wanita hingga aku mulai mengarahkan jemariku untuk menyelinap di antara sisi-sisi celana dalamnya. Belum juga sempat menyelipkan jariku di antara heunceutnya, Ratih melepaskan pagutannya dan mulutnya seperti ikan mas koki yang megap-megap dan memeluk erat tubuhku kemudian menyilangkan kedua kakinya di antara pantatku sambil menekan-nekan pinggulnya dengan kuat. Ternyata Ratih telah mengalami orgasme.
"Aa.. aah, eghh, eghh" rintih Ratih yang dibarengi dengan hentakan pinggulnya.
Sesaat setelah itu Ratih menjatuhkan kepalanya di atas bahuku. Aku belai rambutnya karena aku pun sangat menyayanginya, kemudian aku bopong tubuh yang telah lunglai ini ke atas tempat tidur dan kukecup keningnya.
"Gimana Sayang, enak?" bisikku. Aku hanya bisa melihat wajah memerah adikku ini yang malu dan tersipu, selintas kulihat wajah adikku ini manisnya seperti Nafa Urbach.
"Gimana rasanya, Sayang?" tanyaku lagi.
"Aa, yang tadi itu apa yang namanya orgasme?" Eh, malah ganti bertanya adikku tersayang ini.
"Iya Sayang, gimana, enak?" jawabku sambil bertanya lagi.
"He-eh, enakk banget" jawabnya sambil tersipu.
Entah mengapa demi melihat kebahagian di wajahnya, aku kini hanya ingin memandangi wajahnya dan tidak terpikir lagi untuk melanjutkan aksiku untuk mengarungi lembah belukar yang terdapat di kemaluannya hingga sesaat kemudian karena kulihat matanya yang mulai sayu dan mengantuk akibat orgasme tadi maka aku mengajaknya untuk tidur. Kami pun terus tertidur dengan posisi saling berpelukan dan kakiku kusilangkan di antara kedua pahanya.
Hangat tubuh adikku kurasakan begitu nikmat sekali. Yang ada dalam pikiranku adalah betapa nikmatnya jika aku menikah nanti, pantas saja di jaman sekarang banyak yang kawin entah itu sudah resmi atau belum. Tanpa terasa aku pun sadar dan terbangun dari tidurku, dan kulihat jam di kamar adikku telah menunjukkan jam 9 lewat dan adikku belum juga bangun dari tidurnya. Wah gawat, berarti dia hari ini tidak sekolah, pikirku.
"Ratih, bangun kamu nggak sekolah?" tanyaku membangunkannya.
Ratih pun mulai terbangun dan matanya langsung tertuju pada jam dinding. Dia terkejut karena waktu telah berlalu begitu cepat, sehingga dia sadar bahwa hari ini dia tidak mungkin lagi pergi ke sekolah.
"Aahh, Aa jahat kenapa nggak ngebangunin Ratih" rajuknya manja.
"Gimana mau ngebangunin, Aa juga baru bangun" kataku membela diri.
"Gimana dong kalo Ibu tahu, Ratih bisa dimarahin nih, ini semua gara-gara Aa"
"Loo kok Aa yang disalahin sih, lagian Ibu nggak bakalan tahu kalau Aa nggak ngomongin kan" jawabku untuk menghiburnya.
"Bener yah, Ratih jangan dibilangin kalau hari ini bolos"
"Iyaa, iyaa" jawabku.
Entah mengapa tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk mandi bareng. Wah ini kesempatan emas, alasan tidak memberitahu Ibu bahwa dia nggak masuk sekolah bisa kujadikan senjata agar aku bisa mandi bersama adikku.
"Eh, ada tapinya loh, Aa nggak bakalan bilang ama Ibu asal Ratih mau mandi bareng ama Aa" kataku sambil mengedipkan mata.
"Nggak mau. Aa jahat, lagian udah gede kan malu masak mau mandi aja musti barengan"
"Ya udah kalo nggak mau sih terserah" ancamku.
Singkat cerita karena aku paksa dan dia tidak ingin ketahuan oleh Ibu maka adikku menyetujuinya.
"Tapi Aa jangan macem-macem yah" pintanya.
"Emangnya kalo macem-macem gimana?" tanyaku.
"Pokoknya nggak mau, mendingan biarin ketahuan Ibu, lagian juga itu kan gara-gara Aa, Ratih bilangin Aa udah ciumin Ratih" balasnya mengancam balik.
Jika kupikir-pikir ternyata benar juga, bisa berabe urusannya, seorang kakak bukannya menjaga adik dari ulah nakal laki-laki lain, eh malah kakaknya sendiri yang nakal. Maka untuk melancarkan keinginanku untuk bisa mandi dengannya, aku pun menyetujuinya. Kami berdua akhirnya bangun dari tidur dan setelah berbenah kamar, kami berdua pun pergi menuju kamar mandi. Sesampai di kamar mandi kami hanya saling diam dan kulihat adikku agak ragu untuk melepaskan pakaiannya.
"Aa balik dulu ke belakang, Ratih malu nih" pintanya.
"Apa nggak sebaiknya Aa yang bukain punya Ratih, dan Ratih bukain punya Aa"
Tanpa pikir panjang aku menghampiri adikku dan aku cium bibirnya. Agar dia tidak malu dan canggung untuk membuka pakaiannya, aku genggam tangannya dan aku tuntun untuk membuka bajuku. Tanpa dikomando dia membuka bajuku setelah itu kutuntun lagi untuk membuka celana basket yang aku kenakan.
Setelah keadaanku bugil dan hanya memakai celana dalam saja kulihat adikku tegang, sesekali dia melirik ke arah selangkanganku dimana kontolku sudah dalam keadaan siaga satu. Kini giliranku menanggalkan daster yang ia kenakan. Begitu aku buka, aku terbeliak dibuatnya karena ternyata tubuh adikku begitu bohai (body aduhai). Dia lalu berusaha menutupi selangkangannya. Lalu dengan sengaja kucolek payudaranya hingga adikku melotot dan menutupinya. Kemudian aku pun balik mencolek memeknya, hehehe..
"Idihh, Aa nggak jadi ah mandinya, malu", rajuknya.
Adikku lalu mengambil handuk dan melilitkan handuk tersebut kemudian melangkah keluar kamar mandi, tetapi karena aku tidak mau kesempatan emas ini kabur maka aku pegang tangannya dan terus aku peluk sambil kukecup bibirnya, karena ternyata adikku sangat merasa nyaman bila bibirnya aku cium.
Aku lalu menarik handuknya hingga terlepas dan jatuh ke lantai, dan aku pepet tubuhnya ke arah bak air lalu gayung kuambil dan langsung kusiramkan ke tubuh kami berdua. Merasakan tubuhnya telah basah oleh siraman air, adikku berusaha untuk melepaskan ciuman dan desakan yang aku lakukan, tapi usahanya sia-sia karena aku semakin bernafsu menyirami tubuh kami sambil kontolku aku tekan-tekan ke arah selangkangannya.
Setelah tubuh kami benar-benar basah, aku bagai kemasukan setan. Selain menyedot bibirnya dengan ganas aku pun langsung mencoba untuk melepaskan celananya. Setelah celana dalamnya terlepas dari sarangnya hingga ke tepi lutut, aku pun menariknya ke bawah dengan kakiku hingga benar-benar terlepas. Sadar bahwa aku akan berbuat nekat, Ratih semakin berusaha untuk melepaskan tubuhnya. Sebelum usahanya membuahkan hasil aku melepas pagutannya.
"Aa, stop please" rengeknya sambil menangis.
"Ratih, tolong Aa dong. Ratih tadi subuh kan udah ngalami orgasme, Aa belum.." pintaku.
Dan tanpa menunggu waktu lagi di saat tenaganya melemah, aku kangkangkan pahanya sambil kukecup bibirnya kembali sehingga dia tidak bisa menolaknya. Di saat itu aku meraih burungku dari CD-ku dan mencoba mencari sarang yang sudah lama ini ingin kurasakan.
Dalam sekejap kontolku sudah berada tepat di celah pintu heunceut adikku, dan siap untuk segera menjebol keperawanannya. Merasa telah tepat sasaran maka aku pun menghentakkan pinggulku. Dan aku seperti benar-benar merasakan sesuatu yang baru dan nikmat melanda seluruh organ tubuhku dan kudengar adikku meringis kesakitan tapi tidak berusaha untuk menjerit. Melihat hal itu aku mencoba untuk mengontrol diriku dan mencoba menenangkan perasaan yang membuatku semakin tak karuan, karena aku merasa diriku dalam keadaan kacau tetapi nikmat hingga sulit untuk diuraikan dengan kata-kata.
Aku mencoba hanya membenamkan penisku untuk beberapa saat, karena aku tak kuasa melihat penderitaan yang adikku rasakan. Kini pandangan aku alihkan pada kedua payudara adikku yang masih diselimuti BH-nya. Aku mencoba untuk melepaskannya tapi mendapat kesulitan karena belum pernah sekalipun aku membukanya hingga aku hanya bisa menarik BH yang menutupi payudara adikku dengan menariknya ke atas dan tiba-tiba dua bongkah surabi daging yang kenyal menyembul setelah BH itu aku tarik.
Melihat keindahan payudara adikku yang mengkal dan putingnya yang bersemu coklat kemerahan, aku pun tak kuasa untuk segera menjilat dan menyedotnya senikmat mungkin.
"Aa, ahh, sakit" rintih adikku.
Seiring dengan kumainkannya kedua buah payudara adikku silih berganti maka kini aku pun mencoba untuk menggerakkan pinggulku maju mundur, walau aku juga merasakan perih karena begitu sempitnya lubang heunceut adikku ini. Badan kami kini bergumul satu sama lain dan kini adikku pun mulai menikmati apa yang aku lakukan. Itu dapat aku lihat karena kini adikku tidak lagi meringis tetapi dia hanya mengeluarkan suara mendesah.
"Eenngghh, acchh, enngg, aacchh"
"Gimana, enakk?" aku mencoba memastikan perasaan adikku.
Dia tidak menjawab bahkan kini justru tangannya meraih kepalaku dan memapahnya kembali mencium mulutnya. Karena aku tidak ingin egois maka aku pun menuruti kehendaknya. Aku kulum bibirnya dan lidah kami pun ikut berpelukan menikmati sensasi yang tiada tara ini. Tanganku kugunakan untuk meremas payudaranya. Gila, kenikmatan ini sungguh luar biasa, kini aku pun mencoba untuk menirukan gaya-gaya di film BF yang pernah kulihat. Adikku kuminta menungging dan tangannya memegang bak mandi.
Aku berbalik arah dan mencoba untuk segera memasukan kembali kontolku ke dalam memeknya, belum sempat niat ini terlaksana aku segera mengurungkan niatku, karena kini aku dapat melihat dengan jelas bahwa heunceut adikku merekah merah dan sangat indah. Karena gemas aku pun lalu berjongkok dan mencoba mengamati bentuk heunceut adikku ini hingga aku melongo dibuatnya.
Mengetahui aku sampai melongo karena melihat keindahan heunceutnya, adikku berlagak sedikit genit, dia goyangkan pantatnya bak penyanyi dangdut sambil terkikik cengengesan. Merasa dikerjai oleh adikku dan juga karena malu, untuk mebalasnya aku langsung saja membenamkan wajahku dan kuciumi heunceut adikku ini, hingga kembali dia hanya bisa mendesah..
"Ahh, Aa mau ngapain.., ochh, enngghh" desahnya sambil mengambil nafas panjang.
Mmhh, ssrruupp, cupp, ceepp, suara mulutku menyedot dan menjilati heunceut adikku ini, dan aku perhatikan ada bagian dari heunceut adikku ini yang aneh, mirip kacang mungkin ini yang namanya itil, maka aku pun mencoba untuk memainkan lidahku di sekitar benda tersebut.
"Acchh, Aa, nnggeehh, iihh, uuhh, gelii", erangnya saat aku memainkan itilnya tersebut.
Karena mendengar erangannya yang menggoda aku pun tak kuasa menahannya dan segera bangkit untuk memeluk adikku dan memasukannya kembali dengan cepat kontolku agar bersemayam pada heunceut adikku ini. Baru beberapa kocokan kontolku di memeknya, adikku seakan blingsatan menikmati kenikmatan ini hingga dia pun meracau tak karuan lalu..
"Aa, Ratihh, eenngghh, aahh.."
Rupanya adikku baru saja mengalami orgasme yang hebat karena aku rasakan di dalam memeknya seperti banjir bandang karena ada semburan lava hangat yang datang secara tiba-tiba. Kini aku merasakan kenikmatan yang lain karena cairan tersebut bagai pelumas yang mempermudah kocokanku dalam heunceutnya.
Setelah itu adikku kini lunglai tak bertenaga, yang ia rasakan hanya menikmati sisa-sisa dari orgasmenya dan seperti pasrah membiarkan tubuhnya aku entot terus dari belakang. Mengetahui hal itu aku pun kini mengerayangi setiap lekuk tubuh adikku sambil terus mengentotnya, mulai dari mencium rambutnya, menggarap payudaranya sampai-sampai aku seperti merasakan ada yang lain dari tubuhku, ada perasaan seperti kontolku ini ingin pipis tapi tubuh ini terasa sangat-sangat nikmat.
"Aa, udah.. Aa, Ratih udah lemess.." kata adikku.
"Tunggu Sayangg, Aa maauu nyampai nih, oohh"
Kurasakan seluruh tubuhku bagai tersengat listrik dan sesuatu cairan yang cukup kental aku rasakan menyembur dengan cepat mengisi rahim adikku ini. Sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang luar biasa ini aku memegang pantat adikku dan aku hentakkan pinggulku dengan keras membantu kontolku untuk mencapai rongga rahim adikku lebih dalam.
Kami berdua kini hanya bisa bernafas seperti orang yang baru saja berlari-lari mengejar bis kota. Setelah persetubuhan yang terlarang ini kami pun akhirnya mandi, dan setelah itu karena tubuhku lemas maka aku tiduran di sofa sambil menikmati acara televisi dan adikku kulihat kembali melakukan aktifitasnya membereskan rumah meskipun tubuhnya jauh lebih lemas.

Episode Pendekar Cinta

9. Perayaan ulang tahun ketua partai Bu-tong-pay

Keesokan paginya selagi mereka berdua sedang menikmati sarapan pagi di warung penginapan, Lie Kun Liong mendengar namanya di panggil-panggil. Ketika ia menengok ke arah suara panggilan itu, tampak sedang menuruni anak tangga loteng penginapan itu Cin-Cin, Tang Bun An dan ketua partai Thay-san-pay – Master The Kok Liang.
Dengan girang Lie Kun Liong berdiri dan menyambut kedatangan mereka sambil berkata “Cin-moy, Tang-heng rupanya kalian juga sudah turun gunung”. Ia lalu memberi hormat ke Master The-Kok-Liang.
Sambil tertawa gembira Cin-Cin berkata “Ayah mendapat undangan perayaan ulang tahun ke 80 ketua partai Bu-tong – Kiang Ti Tojin, jadi sekalian untuk menambah pengalaman kami ikut pergi sedangkan ibu tetap tinggal di rumah.
“Sebenarnya kami bisa langsung ke Bu-tong tapi Cin-moy merengek-rengek mau melihat-lihat keindahan kota raja dulu” kata Tang Bun An sambil tertawa mengoda.
Sambil memonyongkan mulutnya Cin-Cin berkata “Padahal aku tahu suheng sebenarnya kepingin juga melihat-lihat kota raja”
“Sudahlah kalian berdua ini selalu ribut-ribut, malu di dengar orang” kata Master The-Kok-Liang.

Lie Kun Liong lalu mengenalkan mereka teman seperjalanannya – Bai Mu An. Sambil sarapan pagi bersama, Cin-Cin berkata “Liong-ko bagaimana kalau engkau ikut bersama kami ke Bu-tong, di sana pasti ramai sekali dan banyak tokoh-tokoh silat kenamaan yang datang untuk megucapkan selamat ulang tahun kepada Kiang Ti Tojin”
“Benar Lie-heng, sebaiknya kita pergi bersama-sama untuk menambah pengalaman” sahut Tang Bun An sambil menoleh ke arah suhunya meminta ijin.
Master The-Kok-Liang mengangguk-anguk tanda setuju sambil mengusap jenggotnya. “Benar A Liong, ini kesempatan yang langka, jarang terjadi kita bisa memenuhi undangan dari parai Bu-tong., sekalian ajak hiantit Bai Mu An” kata Master The Kok Liang.
“Terima kasih cianpwe atas ajakannya tapi wanpwe masih ada urusan pribadi di kota raja ini” jawab Bai Mu An dengan hormat.

Lie Kun liong tahu Bai Mu An masih penasaran hendak mencari Liok In Hong sampai ketemu sehingga ia tidak telalu mendesak.
Selesai sarapan Bai Mu An pergi untuk menyelesaikan urusan pribadinya sedangkan mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Bu-tong-pay.

Sepanjang perjalanan Lie Kun Liong menceritakan pengalamannya secara garis besar saja selama beberapa bulan ini termasuk peristiwa semalam.
“Aneh sekali, siapa gerangan angkatan tua yang bisa memerintahkan Maling Sakti untuk melakukan pencurian yang sangat beresiko di istana. Setahu lohu Maling Sakti memiliki ginkang yang tiada taranya dan ilmu silat yang tinggi, termasuk salah satu jago kosen dunia persilatan” kata Master The Kok Liang.
Sepanjang perjalanan ke Bu-tong mereka melihat banyak orang-orang persilatan mulai dari pengemis, ******* dan lain-lain juga menuju ke Bu-tong-san. Rupanya kali ini pihak Bu-tong-pay merayakan ulang tahun ketua partainya besar-besaran.

Sekilas mengenai partai Bu-tong saat itu, dengan ribuan murid yang tersebar di seluruh penjuru, tak pelak lagi Bu-tong-pay merupakan salah satu partai terkuat di dunia persilatan saat ini.
Pimpinan tertinggi Bu-tong-pay selain ketua adalah hu-ciangbujin (wakil ketua) partai yang saat ini dipegang sute Kiang-Ti-Tojin bernama Kiang-Siang-Tojin serta para tianglo (sesepuh perguruan) yang merupakan sute-sute Kiang-Ti-Tojin dan Kiang-Siang-Tojin.

Sedangkan angkatan kedua partai Bu-tong merupakan murid-murid utama pimpinan partai ini yang rata-rata sudah berumur 40-50 tahunan terkecuali murid penutup Kiang-Ti-Tojin yang baru berusia 19 tahunan bernama Tan Sin Liong. Sedangkan angkatan muda partai Bu-tong saat ini yang memiliki kepandaian tertinggi adalah 7 pendekar dari Bu-tong yang merupakan murid-murid angkatan kedua Bu-tong-pay.

Di bawah kedudukan wakil ketua adalah kedudukan pelaksana harian yang mengatur semua kegiatan sehari-hari Bu-tong-pay termasuk kegiatan perayaan ulang tahun ini, dipimpin oleh murid pertama Kiang-Ti-Tojin yang bernama Tiong-Pek-Tojin. Tiong-Pek-Tojin ini baru berusia pertengahan 50 tahunan disebut-sebut sebagai calon ciangbujin (ketua) Bu-tong-pay menggantikan gurunya Kiang-Ti-Tojin. Ilmu silatnya adalah yang paling lihai di angkatan ke dua Bu-tong-pay dan dikabarkan telah mewarisi semua ilmu gurunya sehingga sangat cocok menjadi calon pengganti ciangbujin saat ini dan didukung sebagian besar sute-sutenya serta kalangan muda Bu-tong-pay.

Namun dikalangan angkatan ke dua Bu-tong-pay yang sangat berambisi menjadi calon pengganti ciangbujin adalah murid satu-satunya Kiang-Siang-Tojin yang bernama Tiong-Cin-Tojin berusia dua tahun lebih muda dari Tiong-Pek-Tojin. Dari segi ilmu silat ia masih kalah seurat dari suhengnya Tiong-Pek-Tojin tapi dari segi kecerdikan Tiong-Pek-Tojin kalah jauh dari sutenya ini. Tiong-Pek-Tojin wataknya teguh, dapat dipercaya dan jujur sedangkan Tiong-Cin-Tojin cerdik cenderung licik, supel dan kurang mempunyai wibawa di mata murid-murid Bu-tong-pay.
Lain dengan suhengnya yang menjabat sebagai pelaksana harian, Tiong-Cin-Tojin lebih suka berkelana dan memiliki pergaulan yang luas dengan berbagai kalangan.

Kiang-Siang-Tojin tentu saja lebih menginginkan murid satu-satunya ini yan menjadi calon ciangbujin tapi yang berhak membuat keputusan adalah ketua partai. Menurut kabar angin selain merayakan ulang tahunnya yang ke 80, Kiang-Ti-Tojin juga akan mengumumkan siapa yang menjadi calon penggantinya. Itulah sebabnya mengapa perayaan ulang tahun ini dirayakan besar-besaran.

Sedangkan bagi para undangan, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memberi selamat kepada tokoh paling terkemuka juga untuk mengenal lebih dekat calon ciangbujin Bu-tong-pay yang baru.
Setibanya mereka di gunung Bu-tong sudah banyak undangan lain yang hadir. Mereka di sambut oleh murid-murid penerima tamu dan begitu mengetahui yang datang adalah caingbujin Thay-san-pay segera mereka memberitahu pelaksana harian Tiong-Pek-Tojin yang keluar menyambut mereka. Walaupun menurut tingkatan Master The-Kok-Liang sejajar dengan ciangbujin Bu-Tong-Pay tapi Master The-Kok-Liang bersahabat kekal dengan Tiong-Pek-Tojin karena selain berusia hampir sama, juga mereka terjun ke dunia kangouw dan mengangkat pada masa yang sama.

“Apa khabar The-heng, sudah puluhan tahun tidak bertemu ternyata The-heng masih kelihatan muda dan tidak berubah banyak” kata Tiong-Pek-Tojin dengan gembira menyambut kawan lamanya.
“Baik-baik saja Can-heng, engkau juga tidak berubah malah semakin gagah” balas Master The-Kok-Liang gembira. Ia menyebut nama Tiong-Pek-Tojin sebelum ia menjadi Tojin (******* Tao).
“Bagaimana kabar dengan Chen Kouwnio” Tiong-Pek-Tojin menanyakan kabar istri Master The-Kok-Liang.
“Baik-baik saja, Hui-Lan tetap di Thay-San mengurus partai” kata Master The-Kok-Liang. Lalu ia memperkenalkan rombongannya.

Tiong-Pek-Tojin mengajak rombongan Thay-San-Pay ini duduk di bagian tamu kehormatan. Para undangan yang hadir hanya sedikit yang mengenal ketua Thay-san-pay ini karena selain sudah lama tidak berkecimpung di dunia persilatan, letak gunung Thai-san yang jauh serta murid-murid partai Thai-san-pay jarang yang berkelana membuat partai ini sedikit kurang dikenal kalangan persilatan. Tapi begitu mengetahui mereka berasal dari Thai-san-pay dan dipimpin langsung oleh ketuanya yang tersohor, kebanyakan undangan menjulurkan leher mereka untuk melihat lebih jelas rombongan Thay-san-pay. Apalagi rombongan Master The-Kok-Liang terutama Cin-Cin yang cantik jelita sudah menarik minat kalangan muda yang hadir.

Memang Cin-cin memiliki bentuk tubuh dan paras rupa yang sempurna. Ia dihiasi dengan kecantikan, kemanisan, keindahan, kejelitaan, kehalusan, kelemah-lembutan, dan segala sifat-sifat keperibadian yang terpuji di samping bentuk tubuhnya yang mempesona serta memikat hati setiap yang memandangnya. Sedangkan Lie Kun Liong dan Tang Bun An adalah pemuda-pemuda pilihan dan tampan sehingga menarik minat para dara muda yang hadir.
Di bagian tamu kehormatan ternyata sebagian besar sudah terisi, sepanjang jalan sebentar-sebentar Master The-Kok-Liang berhenti menyambut sapaan kenalan-kenalan lamanya.

Ternyata selain ketua Thay-san-pay, juga hadir ketua partai Hoa-San-Pay – Master Yu-Kang, ketua Go-Bi-Pay – Ong-Sun-Tojin, ketua Kun-Lun-Pay – Sie-Han-Cinjin, wakil ketua partai Kay-Pang – Kam Lo-kai, serta sute ketua biara Shao-Lin – Tiang-Lok Hwesio serta ketua partai-partai lainnya.
Boleh di bilang perayaan kali ini termasuk peristiwa langka di dunia persilatan, di mana pimpinan utama 7 partai besar yaitu Shao-Lin, Bu-Tong-Pay, Thay-San-Pay, Hoa-San-Pay, Go-Bi-Pay, Kun-Lun-Pay dan perkumpulan Kay-Pang hadir semua di sini.

Dengan wajah berseri-seri, murid-murid Bu-Tong melayani para tetamu dengan hormat. Mereka tahu para tamu undangan yang datang kali ini merupakan tokoh-tokoh utama dunia kangouw.
Bagi Lie Kun Liong ini merupakan kesempatan yang baik untuk mencari tahu keadaan Bu-Tong-Pay karena seperti yang ia dengar dari pelayan warung makan mengenai kematian kedua orang tuanya sangat erat kaitannya dengan Bu-Tong.
Sedangkan di pihak Bu-Tong-Pay, seluruh pimpinan dan murid-murid utama telah dikerahkan menyambut kedatangan tamu kehormatan diantaranya nampak Tiong-Pek-Tojin, Kiang-Siang-Tojin, Tan Sin Liong, 7 pendekar Bu-Tong, dan lain-lain.

Setelah di rasa waktunya telah tiba, ketua partai Bu-Tong Kiang-Ti-Tojin keluar. Tampak seorang tua dengan rambut telah putih semua memasuki ruangan, wajahnya masih tampak sehat kemerahan, sinar matanya masih bersinar terang menandakan lweekang yang sudah sempurna – Inilah salah satu tokoh paling terkemuka di dunia persilatan. Kiang-Ti-Tojin lalu mengucapkan terima kasih atas kehadiran para tamu undangan dan mempersilakan para tamu untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan, lalu ia menghampiri dan menyapa para tamu kehormatan satu per satu untuk mengucapkan terima kasih atas kesediaan mereka datang ke Bu-Tong-Pay.

Setelah melihat para hadirin sudah puas makan minum hidangan yang disediakan, Kiang-Ti-Tojin lalu berdiri dan berkata kepada para tamu undangan “Pinto berterima kasih atas kunjungan para sahabat sekalian. Seperti yang diketahui, sekarang ini pinto sudah berusia 80 tahun dan selama ini kewajiban pinto sebagai ketua diwakili sute Kiang-Siang-Tojin dan murid pinto – Tiong-Pek-Tojin dalam mengurus keseharian partai ini. Saat ini pinto bersama sute Kiang-Siang-Tojin dan para tianglo sepakat untuk menyerahkan tampuk pimpinan ke angkatan yang lebih muda dan lebih bersemangat untuk memajukan partai. Sedangkan pinto bersama sute dan para tianglo hanya akan mengawasi dan memberi pertimbangan-pertimbangan jika diperlukan. Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, pinto memutuskan untuk menunjuk murid pertama pinto – Tiong-Pek-Tojin sebagai pejabat ciangbujin untuk mengantikan pinto dan akan dilantik secepatnya”

Terdengar tepukan tangan yang ramai dari murid-murid Bu-Tong-Pay dan para tamu undangan tanda penunjukan Tion-Pek-Tojin sesuai dengan harapan mereka.

Demikianlah pidato Kiang-Ti-Tojin mengakhiri perayaan ulang tahunnya dengan meriah. Para tamu undangan merasa puas dengan pelayanan murid-murid Bu-Tong-Pay dan menyebarkan kabar penting ini ke seluruh penjuru dunia persilatan. Tiong-Pek-Tojin sibuk melayani ucapan selamat yang diterimanya dari para tamu undangan khususnya dari Master The-Kok-Liang yang merasa sangat gembira sahabat lamanya sekarang menjadi ketua partai Bu-Tong sejajar kedudukannya dengan dirinya.

Tiong-Pek-Tojin mendesak Master The-Kok-Liang untuk tinggal selama beberapa hari di Bu-Tong dan di sambut dengan sukarela oleh Master The-Kok-Liang dan rombongan.
Lie Kun Liong, Cin-Cin dan Tang Bun An selama di Bu-Tong-Pay ditemani oleh murid penutup Kiang-Ti-Tojin – Tan Sin Liong. Dengan cepat mereka merasa akrab dan cocok satu sama lain. Mereka diajak Tan Sin Liong bertamasya di gunung Bu-Tong yang sangat terkenal atas keindahannya. Mereka begitu takjub melihat keindahan Bu-Tong-San, tinggi menjulang, biru dari kejauhan dan terkadang tertutupi awan dipuncaknya
Kawasan gunung Bu-Tong tidak hanya menyajikan panorama alam nan sejuk, tetapi juga memiliki air terjun yang indah. Mereka dapat menikmati keindahan alam dan segarnya air terjun dengan beraneka macam kupu-kupu beterbangan di sana sini.

Uniknya lagi, di bagian bawah air terjun ini terdapat sebuah gua. Di dalam gua itu terdapat stalaktit yang cukup indah. Dari dalam gua mereka bisa dapat melihat lembar-lembar air terjun yang jatuh ke bumi bagaikan tirai.
Mereka bertiga merasa puas sekali tinggal di gunung Bu-Tong dan berteman dengan Tan Sin Liong. Wajah Tan Sin Long cukup tampan namun terkesan pendiam alias tidak banyak bicara. Bagi Tan Sin Liong mereka merupakan teman-teman yang baru pertama kali ia temui, walaupun di gunung Bu-Tong ini pemuda-pemudi yang sebaya dengan dirinya cukup banyak namun karena secara kedudukan tingkatannya lebih tinggi, mereka menjadi agak sungkan dan bergaul pun menjadi kurang akrab. Memang di jaman itu, masalah tingkatan masih dianggap sangat penting sehingga walaupun umur mereka sebaya, mereka tetap harus memanggilnya susiok (paman guru).

Selama berada di Bu-Tong, Lie Kun Liong berusaha mencari tahu hubungan Bu-Tong dengan ayahnya. Ia mencoba minta bantuan Master The-Kok-Liang dengan menceritakan semua yang ia dengar mengenai kematian ke dua orangtuanya dari pelayan warung makan, dimana sebelum meninggal ayahnya meninggalkan goresan kata Bu-Tong. Dengan serius Master The-Kok-Liang mendengarkan penuturan Lie Kun Liong. Ia lalu berkata “Ini memang perkara yang aneh, apakah ada murid Bu-Tong-pay yang terlibat dengan kematian ke dua orangtuamu masih belum bisa dipastikan kebenarannya. Begini saja, biar lohu mencari tahu dari Tiong-Pek-Tojin dan sute-sutenya apakah mengenal ayahbundamu. Mungkin dari sini kita bisa mendapatkan sedikit petunjuk”.

Tapi selama beberapa hari tinggal di Bu-Tong, Lie Kun Liong tidak dapat menemukan kabar apa pun mengenai kematian kedua orangtuanya. Master The-Kok-Liang memberitahukan hasil penyelidikannya dengan bertanya kepada Tiong-Pek Tojin dan sute-sutenya bahwa tak seorang pun yang mengenal kedua orangtuanya.
Di malam terakhir mereka di Bu-Tong, Lie Kun Liong tidak dapat tidur, ia kecewa tidak mendapatkan petunjuk apapun. Apakah kematian kedua orangtuanya tidak akan pernah terungkap, sebagai anak ia merasa telah mengecewakan harapan orangtuanya.

Akhirnya untuk menenangkan diri ia berjalan keluar kamar menuju taman tidak jauh dari kamarnya. Ia duduk termenung sambil menatap kilauan bintang-bintang di langit malam, tak ada bulan hanya ada awan yang datang menyelimuti, ia merasakan malam begitu kelam sekelam pikirannya. Tiba-tiba kupingya yang tajam mendengar sayup-sayup suara lirih dari balik tembok taman lalu menghilang. Di picu rasa ingin tahu, Lie Kun Liong melompat melewati tembok taman dan mencari sumber suara tadi. Agak jauh ke depan dari belakang tembok taman merupakan hutan yang dipenuhi pepohonan, dengan hati-hati ia memasuki hutan itu. Suara tadi mulai ia dengar kembali. Dari balik pepohonan ia melihat dua orang murid Bu-tong sedang melakukan pembicaraan. Lie Kun Liong mengenal kedua orang itu sebagai sute-sute Tiong-Pek-Tojin, entah apa gerangan yang mereka bicarakan di malam yang sudah larut ini. Pria pertengahan yang wajahnya terlihat jelas ia kenal bernama Tiong-Jin-Tojin sedangkan pria yang satunya lagi bernama Tiong-Kok-Tojin, keduanya adalah suheng-suheng Tan Sin Liong.

Ia memasang telinga baik-baik, karena jarak persembunyiannya cukup jauh ia hanya mendengar sepotong-sepotong pembicaraan mereka. Tapi yang membuat hatinya melonjak adalah ketika ia mendengar kata “Pemuda itu…..Lie Kun Liong….anak mereka….. Lie Hong Kiat”
Akhirnya ia mendapat petunjuk terang mengenai sebab kematian kedua orangtuanya, mata Lie Kun Liong mulai meletupkan sinar berapi-api.

Sudah jelas ada murid Bu-Tong-Pay terlibat dalam pembunuhan kedua orang tuanya. Jangan-jangan kedua orang ini turut terlibat dalam pengeroyokan dua belas tahun yang lalu.
Lie Kun Liong menunggu ke dua orang itu pergi sebelum ia keluar dari tempat bersembunyinya, lalu kembali ke kamarnya. Ia tidak mau bertindak sembrono sebelum mengetahui semuanya dengan jelas dan mengungkapkan siapa dalang dari pembunuhan ke dua orangtuanya.

Keesokan paginya ia menemui Tan Sin Liong untuk memancing informasi lebih lanjut mengenai kedua orang itu semalam.
“Tan-heng, aku lihat masa depan Tan-heng ke depan pasti gilang-gemilang dengan terpilihnya suhengmu Tiong-Pek-Tojin sebagai ciangbujin berikutnya, bukan tidak mungkin Tan-heng dagkat sebagai wakil ketua atau pelaksana harian” kata Lie Kun Liong membuka pembicaraan.

Dengan menghela nafas panjang Tan Sin Liong mengeluarkan unek-uneknya dan berkata“Lie-heng sebagai orang luar mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di tubuh partai kami saat ini. Kelihatannya semua murid-murid Bu-Tong saling rukun tetapi sebenarnya terdapat perselisihan-perselisihan kecil yang kalau dibiarkan bisa membesar”
“Kalau Tan-heng percaya sama aku, persoalan apa yang terjadi di Bu-Tong-Pay saat ini ?”
“Tentu saja aku percaya sama Lie-heng yang sudah aku anggap sebagai teman karib. Persoalan ini mengenai Tiong-Cin suheng beserta murid-murid yang mendukungnya. Sudah bukan rahasia lagi Tiong-Cin suheng memiliki ambisi untuk menjadi ciangbujin Bu-Tong-Pay, dengan ditunjuknya Tiong-Pek suheng sebagai ciangbujin menggantikan suhu, membuat pihak Tiong-Cin suheng kecewa. Sebelumnya sudah berulangkali Tiong-Cin suheng mengkritik Tiong-Pek suheng dalam melaksanakan tugas sehari-hari partai Bu-Tong namun selama ini Tiong-Pek suheng cukup arif tidak melayani provokasi Tiong-Cin suheng. Tapi bila terus diprovokasi bukan tidak mungkin Tiong-Pek suheng terpancing sehingga bisa terjadi bentrokan. Ini yang aku khawatirkan terjadi, Bu-Tong-pay bisa menjadi lemah dari dalam.” kata Tan Sin Liong.

“Kira-kira siapa saja yang berada di pihak Tiong-Cin-Tojin, apakah cukup banyak ?”
“Di angkatan kami hanya Tiong-Jin suheng dan Tiong-Kok suheng yang mendukung Tiong-Cin suheng sedangan suheng-suheng yang lain ada yang mendukung Tiong-Pek suheng, ada juga yang netral. Sedangkan di angkatan yang lebih muda, tentunya murid-murid Bu-Tong mendukung masing-masing suhu mereka” jawab Tan Sin Liong.
“Apakah pihak Tiong-Cin-Tojin yang kecewa bisa mengundang orang luar untuk ikut campur?” tanya Lie Kun Liong.
“Walaupun aku tahu Tiong-Cin suheng memiliki pergaulan yang luas di kalangan kangouw tapi aku harap itu tidak terjadi. Ini bisa dianggap menghianati partai, aku rasa Tiong-Cin suheng tidak akan bertindak sejauh itu” kata Tan Sin Liong dengan mimik serius.

Pendekar Cinta - Jilid 8

8. Jian-jiu-lo-sat (si hantu wanita bertangan seribu)

Sekembalinya ke kota raja, Lie Kun Liong langsung mencari pelesiran Bunga Merah. Cukup mudah baginya menemukan pelesiran itu karena termasuk pelesiran yng terkenal di kota raja. Malam itu walaupun sudah larut malam namun di pelesiran Bunga Merah malah semakin meriah.

Dengan ragu-ragu Lie Kun Liong berdiri di pintu masuk pelesiran itu, baru pertama kalinya ia datang ke tempat seperti ini.
Selagi belum tahu apa yang harus dilakukannya untuk bertemu dengan seorang wanita yang bernama Siau Erl, nampak mendatangi sebuah tandu yang digotong dua orang tukang berhenti di depan pintu pelesiran Bunga Merah. Lalu dari dalam tandu keluar seorang wanita muda berpakain hijau muda, wajahnya cukup cantik dan tercium aroma wangi melati dari tubuhnya yang langsing dan berisi. Melihat Lie Kun Liong berdiri di depan pintu masuk, ia sambil tertawa genit menyapa “Kong-cu mencari siapa ?”. Kebetulan bagi Lie Kun Liong, ia berkata “Aku datang ke sini untuk mencari orang yang bernama Siau Erl. Apakah nona bisa membantu ?”

Sambil tertawa dan menutup bibir delima merekah dengan tangannya dia berkata “Siau-moy inilah yang biasa dipanggil Siau Erl, ternyata kong-cu ingin membooking siau-moy. Mari masuk ke dalam kata Siau Erl sambil mengandeng tangan Lie Kun Liong. Dengan gembira karena tidak menyangka orang yang ia cari ternyata adalah wanita ini, Lie Kun Liong mengikutinya menuju kamar yang terletak di lantai dua rumah pelesiran itu. Sepanjang jalan menuju ke kamar Siau Erl ini ia mendengar suara desah dan lengguhan suara wanita mengundang birahi dari balik kamar yang ia lewati. Dengan muka merah dan hati berdegup-degup ia terus mengikuti Siau Erl.

Setiba di dalam kamar sambil terkikik kecil Siau Erl berkata “Tunggu sebentar ya kong-cu, siau-moy membersihkan tubuh dulu sebelum melayani kong-cu”. Dengan perasaan serba salah Lie Kun Liong hanya mengangguk lemah. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat.

Kamar itu sangat besar dan mewah, pasti Siau Erl ini merupakan primadona di rumah pelesiran ini. Dengan gerakan lemah gemulai Siau Erl berjalan menuju lemari pakaian yang berada di pojok ruangan, lalu dengan perlahan-lahan melepaskan pakaian yang dikenakannya.

Terlihat pundaknya yang putih mulus, leher yang jenjang dan pakaian dalam warna merah menyala, terpampang belahan buah dada membusung ketat di baliknya. Tanpa merasa malu Siau Erl mulai melepaskan pakaian dalamnya yang ketat dan segera tampak sepasang buah dada yang montok dihiasi puting susu yang kecil kecoklatan. Tubuhnya seperti layaknya gadis seusianya putih mulus dan segar bugar. Tiba-tiba ia melepaskan rok panjang yang dipakainya dan tampak pahanya yang mulus dan langsing, berpura-pura tidak tahu Siau Erl sambil tersenyum tipis memiringkan tubuhnya yang padat berisi sedikit menghadap Liok Kun Liong hingga terlihat jelas dihadapannya bagian inti seorang perempuan. Baru pertama kali ini ia melihat bagian paling inti milik seorang perempuan. Ia seperti berada di tengah hutan lebat dan jurang dalam.

Dengan tubuh tanpa sehelai benangpun, semua bagian tubuhnya sangat menakjubkan. Setiap lekuk tubuhnya mampu membangkitkan gairah setiap laki-laki. Siau Erl lalu berjalan memasuki kamar mandinya. Dari dalam kamar mandi terdengar suara air gemericik, begitu pelan, lamban dan samar. Muncul dari kamar mandi, tubuh Siau Erl harum, segar, terbebat kain diseputar buah dadanya, dengan bintik-bintik air di tengkuknya.
Sambil melepaskan kain yang dipakainya ke lantai, ia berbaring di sebuah kasur empuk dengan bersitekan pada sebelah sikunya dalam posisi menyamping, memperlihatkan seluruh tubuhnya. Ekspresi wajahnya segar dan bibirnya merah delima merekah dengan sorot mata mengundang yang sekan-akan menyiratkan bahwa tak ada persoalan apa pun dengan ketelanjangannya. Ia seperti melayang di atas kasur empuk, dengan perangai tubuh yang leluasa bergerak tanpa sehelai benang pun. Setiap lekuk tubuhnya menciptakan ruang eksistensinya sendiri sekaligus menjadi dirinya sendiri. Seluruh perangai ketelanjangan, ekspresi dan sorot matanya, membayangkan sebuah sikap merayu, memancing orang (lelaki) untuk menelan air liurnya.

Tubuh Lie Kun Liong tergetar, sambil menutup matanya ia menenangkan diri sepenuhnya dan berkata “Nona, aku datang ke sini atas permintaan seseorang dengan goresan di bagian bawah matanya sambil mengeluarkan seuntai kalung giok yang ia peroleh dari si Maling sakti”

Dengan kaget Siau Erl langsung bangkit dari kasurnya, mengambil kain dilantai untuk menutupi tubuhnya, lalu menghampiri Lie Kun Liong.
“Di mana Maling Sakti berada ?” tanya Siau Erl dengan suara mendesak.
“Dia telah mati di bokong oleh orang yang hendak ditemuinya di sebuah kelenteng rusak tidak jauh dari kota raja ini” sahut Lie Kun Liong.
Dengan wajah pucat Siau Erl mengambil kalung giok dari tangan Lie Kun Liong dan mengamatinya sambil mengeluarkan air mata.
“Apa hubungan nona dengan Maling Sakti ini” tanya Lie Kun Liong ingin tahu.
“Dia ayahku” jawab Siau Erl sambil menyusut air matanya.

Dengan wajah tercenggang Lie Kun Liong menatap wajah sedih Siau Erl, ia tidak menyangka si Maling Sakti memiliki seorang putri yang bekerja di rumah pelesiran ini.
“Engkau pasti heran kenapa Maling Sakti memiliki putri seperti aku bukan” tanya Siau Erl seolah-olah dapat membaca pikiran Lie Kun Liong.
Lie Kun Liong diam tak menjawab, ia tidak ingin membuat Siau Erl merasa tersinggung.
“Sebenarnya tidak banyak orang yang tahu bahwa rumah pelesiran ini merupakan milik ayahku. Dari sinilah ayahku bisa mendapat informasi yang berharga dari tamu-tamu yang datang dan melakukan aksinya. Tidak ada cara yang lebih ampuh untuk mendapatkan rahasia selain dengan wanita penghibur. Umumnya para tamu yang datang tidak curiga sama sekali kalau kami sedang mengorek-orek rahasia mereka, terlebih apabila mereka dicekoki arak hingga mabuk” kata Siau Erl.
“Lalu apa tujuan kalian hanya mencuri lukisan dari gudang pusaka istana” tanya Lie Kun Liong heran.
“Sebenarnya ayah mendapat order pesanan dari seorang angkatan tua kangouw untuk mencuri lukisan itu dengan bayaran yang sangat besar, cukup untuk tidak mencuri lagi selamanya. Kalung giok ini adalah salah satu bukti pembayaran darinya” kata Siau Erl.
“Apakah kalian tahu apa yang di cari orang itu dari lukisan yang kalian curi ?” tanya Lie Kun Liong.
“Tidak tahu, cuma memang ayah merasakan hal ini sangat aneh hingga untuk berjaga-jaga ia telah mempersiapkan segala sesuatu dengan membuat tiruan lukisan itu sedangkan yang asli aku simpan” kata Siau Erl sambil berjalan menuju lemari pakaian yang ada dipojok ruangan dan membukanya. Tampak bagian dalam lemari itu sama seperti lemari biasa namun ternyata dengan menekan suatu alat tertentu di balik lemari itu ada ruangan yang tersembunyi.

Siau Erl masuk ke ruangan tersembunyi itu dan tidak beberapa lama kemudian ia keluar sambil membawa sebuah gulungan kain dan menaruhnya di atas meja bundar di tengah kamar serta membukanya lebar-lebar. Ternyata gulungan kain itu adalah lukisan yang di curi si Maling Sakti, melukiskan pemandangan pada musim rontok, di mana bulan terang, angin bertiup sepoi-sepoi sehingga udara dan sungai tampak bersih sekali. Sebuah maha karya lukis yang mengagumkan sehingga tidak heran termasuk barang pusaka istana.

Setelah mengamati lukisan itu sekian lama, lapat-lapat Lie Kun Liong merasa pernah melihat gambar lukisan itu tapi entah di mana ia pernah melihatnya.
“Siapakah angkatan tua yang telah memberi tugas mencuri lukisan ini ?” tanya Lie Kun Liong.
“Ayah tidak sempat memberitahu karena ia terburu-buru hendak menyerahkan lukisan ini ke orang itu. Yang pasti orang itu mempunyai kedudukan yang tinggi di dunia persilatan sehingga ayah pun tak kuasa menolak permintaannya” kata Siau Erl.
“Apakah orang itu tahu kediaman Maling Sakti di sini ?”tanya Lie Kun Liong.
“Tidak seorang pun yang tahu” jawab Siau Erl yakin.
“Sebaiknya nona menyingkirkan diri dari sini, siapa tahu orang itu memiliki mata-mata dan mendapat tahu kediaman Maling Sakti di sini. Apalagi bila ia mendapat tahu lukisan yang diserahkan ayahmu itu palsu” saran Lie Kun Liong.
“Baiklah, Siau Erl pasti mendengarkan saran Lie-ko” jawabnya sambil tersenyum manis mengoda.
“Kalau begitu aku pergi dulu” kata Lie Kun Liong seolah-olah tidak melihat senyuman yang membuat hatinya berdebar-debar.

Sambil termangu Siau Erl memandang kepergian Lie Kun Liong, entah mengapa baru kali ini ia mempercayai seorang lelaki dan menceritakan semua rahasia mereka kepada orang luar. Hanya satu yang tidak ia berani ia beritahukan yaitu julukannya Jian-jiu-lo-sat (si hantu wanita bertangan seribu).
Next : Pendekar Cinta - Jilid 9

Pendekar cinta - Jilid 7

7. Pencuri di Istana

Nanking adalah ibu kota kerajaan dan dikenal sebagai pusat ilmu, kebudayaan, kesenian sejak dahulu dan merupakan salah satu kota terpenting di Tiongkok dan menjadi ibu kota sepuluh dinasti atau kerajaan. Juga dikenal sebagai "Ibu kota Surga". Telah menjadi pusat kerajaan dan ekonomi bagi daerah delta sungai Yangtze selama beratus-ratus tahun. Nanking juga adalah penghubung pengangkutan di bagian timur Tiongkok dan kawasan muara sungai Yangtze.
Memasuki gerbang kota Nanking, Lie Kun Liong memandang sekeliling kota dengan terkagum-kagum. Belum pernah ia melihat kota yang seramai ini dan makmur. Di kiri kanan sepanjang jalan terdapat warung makan kecil sampai yang besar dan penginapan-penginapan kelas satu. Tercium wangi masakan dari warung-makan besar membuat perutnnya berontak minta diisi.

Ia mengajak Bai Mu An memasuki salah satu warung makan yang terbesar. Suasana warung makan itu ramai sekali, para pelayan hilir mudik membawa masakan-masakan yang membuat air liur menetes, semua masakan disajikan panas-panas langsung dari dapur. Mereka memesan tumis sayur, burung dara goreng nanking yang terkenal, dua botol arak dan empat mangkok nasi putih yang masih panas mengepul. Dengan lahap mereka menyantap masakan yang dihidangkan dan ludes dalam sekejap.

Di sebelah mereka duduk sekawanan pemuda dengan pakaian yang mewah, kelihatan mereka berasal daridari keluarga terpandang atau anak pejabat pemerintahan. Mereka sedang membicarakan kejadian dua hari yang lalu di warung makan ini.

“Ciu-heng apa benar gadis itu cantik jelita” tanya pemuda berbaju putih kepada kawannya yang bertubuh gendut.
“Benar toako, gadis itu baru tiba ke kota ini dan sedang makan di pojokan meja sebelah sana sendirian sewaktu rombongan tuan muda Pai datang dan mencoba mengoda gadis itu” jawab pemuda bertubuh gendut. Seperti yang toako ketahui, pengawal tuan muda Pai sangat lihai tapi cukup dengan sebatang sumpitnya, gadis itu membuat kedua pengawal Pai kongcu takluk. Kalau tidak percaya coba toako lihat lobang bekas lemparan sumpit gadis itu di dinding sebelah sana. Memang benar di dinding tersebut terdapat dua lobang kecil seukuran sumpit. Dengan meleltkan lidahnya pemuda berbaju putih itu bertanya “Sungguh lihai sekali gadis itu, apa yang terjadi kemudian ?”.

“Dengan sebatang sumpitnya si gadis itu melayani kedua pengawal Pai kongcu dengan seenaknya bahkan kedua telapak tangan pengawal itu berlobang tertembus sumpit yang dilemparkan gadis itu lalu menembus dinding di sana. Tenaga gadis itu hebat sekali” kata pemuda gendut itu.
“Bagaimana potongan gadis itu” tanya pemuda yang lain.
“Wajahnya cantik mempesona bagaikan putri istana, tingginya sedang dan tubuhnya langsing, kulitnya putih dan halus, jari-jari dan alis matanya lentik sekali. Sungguh jarang aku melihat gadis secantik itu” kata pemuda gendut itu kesengsem.

Mendengar pembicaraan para pemuda itu, Bai Mu An berkata pada Lie Kun Liong “Rasanya yang mereka bicarakan adalah kawan yang aku lag cari, ciri-cirinya mirip”
“Siapa nama gadis yang Bai-heng hendak cari” tanya Lie Kun Liong
“Dia bernama Liok In Hong dan julukannya Sian Li Kiam (Dewi Pedang)” jawab Bai Mu An.
“Sian Li Kiam yang terkenal itu, ternyata Bai-heng kenal dengannya” kata Lie Kun Liong. Dengan hati berdebar-debar Lie Kun Liong merasa curigai jangan-jangan Liok Han Ki yang ia kenal merupakan penyaruan dari Liok In Hong si Dewi Pedang.
“Keluarga aku dengan keluarganya punya sedikit hubungan persahabatan tapi aku baru-baru ini saja mengenalnya” kata Bai Mu An dengan wajah luar biasa.

Setelah urusan mengisi perut selesai, mereka lalu mencari penginapan yang bersih untuk membersihkan badan dan memulihkan tenaga.
Di sore harinya mereka berkeliling di sekitar kota raja untuk menyerapi kabar Sian Li Kiam namun bukan berita tentang Liok In Hong yang mereka dengar tapi berita tentang berhasil dimasukinya gudang pusaka istana raja oleh maling yang lihai. Kejadiannya berlangsung tadi malam.

Para wie-su (perwira kerajaan) yang berjaga tiada seorangpun yang menyadari gudang pusaka istana telah kemalingan, baru pada keesokan harinya kejadian yang menghebohkan itu ketahuan. Semua orang tahu bahwa istana raja di jaga sangat ketat, ibaratnya burung pun tidak leluasa untuk terbang di atas istana apalagi manusia. Namun si maling itu berhasil memasuki gudang pusaka dengan melewati penjagaan dari pasukan Gie-lim-kun (pasukan penjaga istana) dan Kim-mie-wie (pasukan pengawal kerajaan bersulam emas).

Namun yang lebih mengherankan si maling tidak mengambil barang-barang berharga seperti pedang pusaka, perhiasan emas dan berlian yang biasa di pakai putri-putri istana. Ia hanya mengambil sebuah lukisan bergambar pemandangan gunung di waktu musim salju. Memang lukisan itu cukup berharga karena merupakan hadiah dari Khan Agung kerajaan Mongolia sebagai tanda persahabatan.

Dengan adanya peristiwa ini penjagaan istana semakin diperketat dan pintu gerbang kota raja juga di jaga ketat. Setiap orang yang hendak keluar kota raja di periksa bawaannya.
“Entah siapa gerangan orang yang berani mati mencuri di istana kerajaan, sedangkan yang dicuri hanya sebuah lukisan” kata Lie Kun Liong.
“Pasti seorang jago kosen kangouw dan memiliki peta keadaan istana yang mampu melakukan pencurian itu” kata Bai Mu An.
“Berarti ia pasti bekerjasama dengan orang dalam untuk mendapatkan gambaran keadaan istana, kapan waktu pergantian penjagaan, siapa yang sedang memimpin penjagaan” kata Lie Kun Liong.
“Kabarnya Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) – Sun Kai Shek yang berjuluk Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus) sedang cuti pulang ke kampung halaman, sedangkan Ciong-cie-hui (pemimpin Kim-mie-wie) – Sim Ok Ciang yang berjuluk Kim-gak-tiau (si rajawali bermata emas) malam itu sedang dipanggil Hong-siang (Kaisar)” kata Bai Mu An. Si pencuri memilih saat yang sangat tepat dalam melakukan aksinya.
“Bagaimana dengan ilmu silat kedua pemimpin itu” tanya Lie Kun Liong.
“Termasuk kelas wahid dalam dunia kangouw. Tong-leng Sun Kai Shek merupakan sute (adik seperguruan) dari ketua Hoa-san-pay saat ini. Ilmu pedangnya Hong-kui-liu-in (angin lesus membuyarkan awan) sangat lihai dan entah sudah berapa banyak korban yang mati di bawah ujung pedangnya. Ia sudah belasan tahun menjadi pemimpin nomor satu di pasukan Gie-lim-kun.

Kalau Ciong-cie-hui Sim Ok Ciang terkenal dengan ilmu silatnya Pek-pian-yu-tui (tendangan seratus gaya) merupakan jago kosen yang sudah malang melintang di dunia kangouw puluhan tahun sebelum menjabat Ciong-cie-hui beberapa tahun yang lalu. Aku rasa tidak gampang bagi si pencuri mengaduk-aduk gudang pusaka istana bila ke dua orang ini sedang bertugas” kata Bai Mu An.
“Menurut perkiraan Bai-heng siapa gerangan pencuri itu” kata Lie Kun Liong.
“Susah diperkirakan, banyak orang kosen di kalangan Liok-lim (kalangan penjahat / rimba hijau). Di samping itu belum tentu pencuri tersebut dari kalangan Liok-lim bisa juga dari kalangan Bu-lim (rimba persilatan)” sahut Bai Mu An.
“Pengetahuan Bai-heng tentang dunia kangouw luas sekali, kalau aku boleh tahu siapa saja jago kosen dari kalangan Liok-lim” tanya Lie Kun Liong.

“Ada Kwi-eng-cu (si bayangan iblis) yang terkenal dengan ilmu ginkangnya, lalu Cap-sah-thian-mo (13 iblis besar) susah dilayani, Bwe-hoa-cat (penjahat bertanda bunga bwe) seorang jai-ho-cat (penjahat pemetik bunga) yang selalu membunuh korban-korbannya setelah selesai diperkosa. Kemudian Jian-jiu-lo-sat (si hantu wanita bertangan seribu) yang terkenal akan kelihaiannya ilmu mencurinya. Mereka-mereka inilah sedang naik daun di kalangan liok-lim.
Untuk angkatan tuanya Lie-heng harus hati-hati bila bertemu dengan Bu-eng-cu (si tanpa bayangan), Pian-mo (setan cambuk), Tok-tang-lang (si belalang berbisa) dan Kim-mo-siankouw (dewi berambut emas) yang terkenal akan kejalangannya terhadap pemuda-pemuda tampan” kata Bai Mu An.

“Bai-heng tahu dimana tempat tinggal Tok-tang-lang” tanya Lie Kun Liong. Ternyata ia masih ingat dengan nama julukan susioknya Tan Kin Hong yaitu si belalang berbisa. Ia ingin menemui susioknya itu dan menyampaikan pesan-pesan gurunya.
“Aku tidak tahu, mereka ini sudah puluhan tahun di dunia kangouw dan sudah jarang berkecimpung di dunia persilatan. Apakah Lie-heng ada persoalan dendam kesumat dengan Tok-tang-lang” tanya Bai Mu An ingin tahu.
“Ya benar” kata Lie Kun Liong singkat. Ia tidak ingin Bai Mu An tahu persoalan intern perguruannya diketahui orang luar.

Hari sudah sore matahari perlahan-lahan mulai terbenam dan tahu-tahu malam telah tiba, mereka kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Malam yang sunyi dan kelam. Bulan pucat menggantung di langit beberapa bintang tak bosan berkedip. Cahaya bulan menolong memberikan pemandangan malam yang tidak begitu gelap. Kadang terdengar teriakan panjang dari lorong entah di mana menggemakan gaung malam. Tersentak sadar dalam samadhi oleh suara lirih pejalan malam di atas genteng kamarnya, Lie Kun Liong merasa heran akan kelihaian orang tersebut. Bila ia tidak dalam keadaan sedang melatih lweekang pasti ia tidak akan mendengar sama sekali.

Jelas seorang jago kosen sedang berkeliaran di luar sana. Dengan hati-hati ia melompat keluar ke atas genteng penginapan dan mengikuti bayangan orang yang masih nampak di kejauhan sebelum menghilang di balik bangunan.
Dengan mengembangkan ilmu teng-peng-touw-sui (menginjak rumput mnyebrang sungai) ia dengan sebat mengikuti bayangan itu dengan penuh perhatian. Rupanya bayangan itu menuju ke pintu keluar gerbang kota, dengan ilmu pek-houw-yu-ciang (cecak merayap di tembok) bayangan itu menaiki tembok dan dengan cepat keluar dari kota raja. Tak seorangpun prajurit di sekitar tembok itu menyadari ada orang yang keluar dari kota raja dengan diam-diam.
Dengan ketat Lie Kun Liong mengikuti bayangan itu, syukur baginya malam sedang gelap-gelapnya hingga ia tidak konangan oleh orang itu. Sekeluarnya dari kota raja, bayangan itu mengembangkan ginkangnya seluas-luasnya. Dengan susah payah Lie Kun Liong mengikuti orang itu, ia sangat kagum akan ilmu mengentengkan tubuh bayangan itu, hanya dengan mengerahkan seluruh kemampuannya baru ia dapat mengimbangi lari orang itu.

Setelah berlari selama seperminuman teh, mereka tiba di sebuah bangunan. Ternyata bangunan itu adalah sebuah kelenteng yang sudah rusak dan tak berpenghuni. Bayangan itu memasuki kelenteng dan menghilang ke dalam. Lie Kun Liong ragu-ragu untuk mengikutinya, ia khawatir di dalam kelenteng sudah ada orang yang menunggu si bayangan itu dan melihat ada orang yang mengikuti bayangan itu.

Sekonyong-konyong ia mendengar suara jeritan berkumandang dari dalam kelenteng itu. Dengan mengambil resiko ketahuan Lie Kun Liong melayang ke atas atap kelenteng dan mengintip ke dalam ruangan di mana bayangan tadi masuk. Ruangan itu gelap sekali tiada sinar lilin, hanya dengan mengandalkan sinar rembulan ang menerobos jendela yang terbuka dan mata yang tajam Lie Kun Liong meneliti sekitar ruangan itu. Di sudut ruangan, bayangan yang ia kejar tadi terbaring telungkup.

Gelagatnya teriakan tadi berasal darinya, ada orang yang membokong dan melukainya. Lie Kun Liong dengan sabar menanti sambil berharap orang yang membokong bayangan itu segera menampakkan diri. Tapi tungu punya tunggu tidak tampak sesosok bayanganpun yang keluar dari kelenteng sehingga dengan hati-hati ia melayang turun ke dalam ruangan dan mendekati orang yang terbaring telungkup itu.

Sebatang pisau menancap di balik punggungnya menembus ke bagian dada, darah segar mengalir di sekitar tubuhnya. Sambil membalik tubuh orang itu, Lie Kun Liong memeriksa nadi orang tua – nadinya masih berdenyut lemah sekali, ia belum mati. Lie Kun Liong menyalurkan tenaga dalam ke badan orang itu. Tidak berapa lama orang itu sadar sambil meringis kesakitan. Lie Kun Liong sadar orang itu tidak dapat diselamatkan lagi, lukanya sudah terlalu parah. Ia hanya berusaha menyadarkan orang itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Dengan mata sayu orang itu menatap Lie Kun Liong dan berkata “Sii..apa anda” tanyanya dengan bersusah payah.
“Aku kebetulan lewat dan mendengar suara jeritan di dalam kelenteng” kata Lie Kun Liong.
“Paman siapa dan mengapa sampai terluka begini”
Dengan kecut orang itu meringgis kesakitan dan berkata “Aku berjuluk Maling Sakti dan orang yang memasuki gudang pusaka istana kemarin malam. Orang yang melukai aku adalah orang yang memberi tugas untk mencuri lukisan pemandangan. Ini tidak pernah aku sangka sama sekali ia begitu tega berusaha membunuh aku untuk menutup mulut”.

Dengan tersenggal-senggal ia merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kalung giok berwarna hijau dan menyodorkannya ke tangan Lie Kun Liong sambil berkata dengan susah payah “Ca..ari Siau Erl di rumah pelesiran “Bunga Merah” di kota raja dan berikan kalung ini untuk tukar dengan lukisan yang asli. Lukisan yang aku bawa tadi palsu” Mengingat ia berhasil menipu orang yang telah menyuruhnya mencuri lukisan, terbayang rasa puas di wajahnya. Sesudah mengatakan kalimat itu, orang itu mati dengan mata terbelalak seolah-olah tidak rela meninggalkan dunia ini.
Dengan menghela nafas gegetun Lie Kun Long menyimpan kalung giok yang kelihatan sangat mahal itu ke dalam saku bajunya, ternyata dunia kangouw ini kejam dan penuh dengan tipu muslihat.

Next : Pendekar cinta - Jilid 8

Pendekar Cinta - Jilid 6

Jilid 6. Si Pedang Kilat

Suatu ketika ia sampai di daerah pegunungan di pinggir tanah cekung wilayah Sichuan dengan hamparan tanaman teh seperti karpet tebal berwarna hijau. Semilir udara segar pegunungan berhembus pelan hingga daun-daun teh bergoyang seirama. Siang itu, terik matahari sepertinya malu-malu membakar bumi karena terhalang awan dan pepohonan. Rasa lelah dan penat karena seharian menunggang kuda sepertinya tak terasa. Badan menjadi segar dan pikiran pun terasa lapang.
Di kebun teh itu tampak para wanita pemetik teh yang rajin sedang sibuk memetik daun teh sambil menyanyikan lagu memetik daun teh, lagu yang mereka nyanyikan turun temurun. Kesemua itu membentuk gambaran kehidupan petani yang indah di Sichuan bagian barat.

Terlihat serombongan anak-anak dengan baju berwarna-warni menari, berkejaran menikmati suasana panen teh dengan mengejar kupu-kupu. Menurut legenda, seorang petani obat pada jaman Dinasti Han Barat, Wu Lizhen yang pertama kali menanam pohon teh di gunung ini, ia menanam 7 batang pohon itu di gunung tersebut. Konon ketujuh pohon teh itu masih tetap subur meski telah berusia ribuan tahun, dan setiap tahun tumbuh daun teh muda yang sempit dan panjang serta sangat sedap rasanya. Ketujuh pohon teh itu oleh masyarakat setempat dinamakan Teh Dewata.

Di sebelah kiri kebun teh itu terdapat sebuah warung teh bagi para pelancong yang ingin menikmati secangkir teh segar. Sambil menunggang kudanya perlahan-lahan Lie Kun Liong menyusuri pegunungan itu melalui jalan tanjakan berbatu menuju warung teh itu. Sambil menunggu teh yang di pesan datang, ia menyaksikan pemilik warung yang sibuk mengolah daun teh. Dengan cara yang sangat tradisional, si pemilik warung menggoreng daun teh di wajan dengan tangan, daun teh yang hijau dengan cepat berubah menjadi kuning muda dan menyebarkan harum yang sedap dan segar.

Di sekitar warung teh terdapat belasan pohon ginko kuno yang tumbuh subur. Duduk di kursi bambu, mereguk minuman teh yang sedap dan segar di bawah pohon sambil melepas pandang ke gunung yang jauh, Lie Kun Liong bisa merasakan ketenangan yang syahdu. Selagi menikmati teh dalam suasana alam yang indah dan tenang, kupingnya yang tajam mendengar suara denting beradunya pedang di kejauhan. Pada mulanya ia malas untuk mencampuri pertikaian dunia persilatan namun dari bunyi beradunya pedang tersebut ia dapat membedakan pihak yang sedang bertempur merupakan jago-jago kosen. Tertarik hatinya untuk melihat jalannya pertempuran itu, segera ia mengembangkan ginkangnya ke arah suara tadi.

Ternyata di belakang perkebunan teh itu terdapat terdapat hutan bambu. Semilir angin yang menerabas pepohonan bambu di sekitarnya mengalirkan keteduhan. Di bawah rindangnya pepohonan bambu, seorang pemuda sedang bertanding dengan seru melawan seorang nenek tua berusia enam puluh tahunan. Walupun kelihatannya lemah dan tua tapi gerakan si nenek sangat lincah tidak kalah lihainya dengan si anak muda.

Pedang di tangan pemuda itu berkelabat bagaikan kilat menyambar ke sana kemari mengincar tubuh tua si nenek. Pemuda itu berusia sebaya dengannya, wajahnya cukup tampan dan sedikit jumawa, pakaian yang dikenakannya terbuat dari bahan berkualitas berwana hijau muda. Gerak-geriknya sangat sebat dan menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi. Gerakan ilmu pedang pemuda ini sangat mengandalkan kecepatan dan ketajaman bilah pedang. Gaya pedang yang dimainkannya sangat tidak mengenal ampun, semua serangan dilakukan dengan sepenuh hati seolah-olah ia menyerahkan seluruh jiwanya ke dalam pedang, sangat mengiriskan hati. Selama berkelana di dunia persilatan beberapa bulan ini, pemuda inilah yang menurut hasil pengamatannya memiliki ilmu pedang yang tidak kalah dengan ilmu pedangnya.

Lie Kun Liong tidak yakin apakah ia sanggup mengalahkan ilmu pedang si pemuda itu dengan ilmu pedang perguruannya. Entah persoalan apa yang terjadi diantara mereka hingga melangsungkan pertempuran mati hidup di hutan bambu ini pikir Lie Kun Liong. Ia tidak berani mencampuri sebelum jelas duduk persoalannya walaupun ia bersimpati kepada si nenek tua yang terus bertahan dengan gigih terhadap setiap serangan si pemuda itu. Sambil bersembunyi di balik rerimbunan pohon bambu ia mengamati jalannya pertandingan dengan serius untuk menambah pengetahuannya. Dengan sekilas saja ia sudah mampu mengingat setiap gerakan-gerakan yang hebat dari kedua orang tersebut, memang gurunya sering memujinya memiliki bakat dan ingatan yang sangat baik.
Setelah beberapa puluh jurus kemudian terlihat si nenek mulai agak keteteran tapi ia tetap bertahan sekuatnya. Ilmu si nenek sebenarnya sangat lihai, terbukti ia mampu melayani si pemuda ini tanpa terdesak. Kelemahan si nenek adalah usianya, keuletannya kalah sama yang muda. Yang satu sedang dalam kondisi puncak kemudaannya sedangkan yang lain sedang dalam kondisi menurun di usia tua. Kedua orang itu sudah mengucurkan keringat di dahi masing-masing, tanda-tanda kelelahan tampak di wajah keduanya. Siapapun yang menang pasti tidak mudah diperoleh dan memerlukan pengorbanan tenaga yang banyak. Naga-naganya tidak berapa lama lagi menang kalah dapat segera di tentukan.
Lie Kun Liong merasa serba salah, ia kasihan sama si nenek tapi ia belum tahu masalah yang terjadi, takut terjadi kesalahpahaman.

Akhirnya ia memutuskan untuk menampakkan diri sambil berharap dengan kedatangannya kedua orang ini berhenti berkelahi hingga ia bisa menanyakan duduk persoalan sebenarnya.
Harapan tinggal harapan, mereka yang sedang bertempur tidak berhenti sekalipun mereka tahu kedatangan Lie Kun Liong bahkan jurus-jurus yang dimainkan semakin ganas.

Suatu ketika ujung pedang si pemuda berhasil menuai sukses mendekati tubuh lawan serta memecah hawa chi si nenek mengakibatkan lobang darah di bagian pundak si nenek. Dengan cepat darah mengucur keluar dan gerakan si nenek yang lincah mulai berkurang terpengaruh oleh lukanya. Si pemuda tidak melewatkan waktu sedetikpun, ia terus melancarkan rangkaian serangan mematikan.

Sadar akan bahaya yang dihadapinya, si nenek mengeluarkan segenap kemampuan yang tersisa mendesak mundur si pemuda beberapa langkah sambil melemparkan am gie (senjata rahasia) berbentuk bintang segi lima yang sangat tajam dan terbuat dari logam. Selagi pemuda itu sibuk menangkis senjata rahasia, si nenek melompat mundur dan melarikan diri ke arah Lie Kun Liong sambil berteriak “Anak Kin, serang pemuda itu” dan menghilang di balik hutan bambu.
Lie Kun Liong melongo memandang belakang tubuh si nenek, mendengar kata-kata nenek itu ia tidak mengerti. Namun belum sempat ia berbalik, terdengar siur sambaran pedang sudah berada dekat punggungnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ia miliki, ia berhasil menghindarkan diri dari serangan itu. Ternyata ia diserang oleh si pemuda yang menyangka Lie Kun Liong sebagai murid atau cucu si nenek.

“Eh nanti dulu looheng” kata Lie Kun Liong sambil sibuk menghindarkan diri dari serangan ganas si pemuda. “Aku bukan siapa-siapa nenek itu” kata Lie Kun Liong buru-buru.
Tapi si pemuda itu tidak mau mendengarkan kata-kata Lie Kun Liong sedikitpun, ia terus membombardir Lie Kun Liong dengan jurus-jurus mematikan. Terpaksa Lie Kun Liong menghadapi si pemuda dengan penuh perhatian sebab kalau lengah sedikit, tubuhnya akan bolong tertembus ujung pedang si pemuda.

Lie Kun Liong mengumpat dalam hati akan kesembronoan si pemuda itu, dengan susah payah ia melayani si pemuda dengan tangan kosong. Tiada kesempatan baginya untuk mencabut pedang yang berada di punggungnya. Untungnya ia sudah sempat sedikit menyelami gaya ilmu pedang si pemuda tadi hingga sedikit banyak ia masih bisa mengelak ke sana ke mari, lalu sambil melancarkan pukulan yang disertai hawa lwekang, ia mencabut pedangnya untuk mempertahankan diri lebih sempurna.
Awalnya ia hanya mencoba mempertahankan diri sambil mencari kesempatan untuk berbicara menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi namun serangan-serangan si pemuda sangat ganas dan mematikan hingga ia sebagai pemuda yang masih berdarah panas menjadi marah dan mulai membalas serangan si pemuda itu.

Terjadilah pertarungan yang jarang terjadi di dunia persilatan antara dua jago pedang yang sama-sama masih muda dan bersemangat. Bagi keduanya ternyata pertarungan ini merupakan pertarungan yang paling sengit yang pernah mereka hadapi selama berkecimpung di dunia kangouw. Pedang yang mereka miliki sama-sama pedang pusaka dan sudah menyatu dengan jiwa raga mereka. Saling serangpun berlangsung dengan seru, masing-masing pihak mengeluarkan seantero kemampuannya untuk mengalahkan lawan.

Kalau gerakan pedang si pemuda itu secepat kilat, gerakan pedang Lie Kun Liong tidak kalah mantapnya. Kecepatan di hadapi dengan kemantapan. Sayang tidak ada yang menyaksikan pertarungan kelas wahid ini. Suatu saat keduanya melancarkan serangan pedang yang mengakibatkan bentrokan yang sangat keras sehingga pedang di tangan mereka masing-masin terlontar ke atas terlepas dari pegangan masing-masing. Dari situ dapat diketahui keduanya memiliki lwekang yang setingkat.

Sebenarnya kalau mau selagi pedangnya terlontar ke udara, Lie Kun Liong bisa mengendalikan pedang dan untuk digunakan menyerang kembali si pemuda yang telah kehilangan pedangnya dengan ilmu pedang terbang. Tapi ia masih sadar ini kesempatan baik untuk menjelaskan salah paham ini.

“Harap dengarkan kata-kata aku loheng, aku tidak mengenal nenek itu sama sekali, aku hanya kebetulan lewat di sini” kata Lie Kun Liong buru-buru takut si pemuda ia masih gelap mata dan menyerangnya membabi buta.Pemuda itu tertegun sebentar, lalu menyadari bahwa murid ataupun cucu si nenek itu tidak mungkin memiliki ilmu pedang yang selihai ini bahkan lebih lihai dari si nenek.
“Tapi aku dengar sendiri Hui Thian Mo Lie (Hantu permpuan terbang ke langit) itu menyebutmu anak Kin” kata pemuda itu ragu-ragu.
“Aku juga tidak mengerti mengapa nenek itu memanggil aku begitu, mungkin dalam keadaan terdesak ia mau melemparkan beban ke aku untuk meloloskan diri” kata Lie Kun Liong penasaran.
“Rasanya memang itu tujuannya, untung engkau menjelaskan kalau tidak aku bisa salah membunuh orang tak bersalah” kata si pemuda seolah-olah yakin sekali Lie Kun Liong pasti akan kalah bila pertandingan diteruskan.

Sambil tersenyum tawar Lie Kun Liong bertanya “Ada sengketa apa antara loheng dengan nenek itu” Ia sedikit tidak suka akan kejumawaan si pemuda itu.
“Hui Thian Mo Lie itu adalah pembunuh keluarga misan aku, sudah lama aku memburunya dan tempat ini akhirnya bisa menyandaknya. Sayang ia lolos kali ini tapi lain kali jangan harap dia seberuntung ini” kata pemuda itu dengan lagak sombongnya.
“Maaf kalau kemunculan aku tadi menganggu rencana balas dendam loheng” kata Lie Kun Liong
“Tidak apa-apa, bukan salah loheng. Oh ya aku Bai Mu An, siapa nama loheng” tanya pemuda yang bernama Bai Mu An itu.
“Rupanya Bai-heng yang terkenal dengan julukan si Pedang Kilat” kata Lie Kun Liong kaget.
“Tidak berani, teman-teman persilatan yang memberi julukan itu” kata Bai Mu An, namun tidak mampu menyembunyikan rasa bangga diwajahnya.
“Nama aku Lie Kun Liong, kebetulan sedang berkelana di sekitar sini” kata Lie Kun Liong diam-diam tertawa dalam hati melihat kejumawaan Bai Mu An.
“Lie-heng hendak kemana” tanya Bai Mu An.
“Aku mau pergi ke Nanking, sudah lama dengar akan kemegahan kota raja” jawab Lie Kun Liong.

Sebenarnya ia berharap dapat berjumpa dengan Liok Han Ki di sana karena ia ingat akan pembicaraan mereka dulu. Entah mengapa sejak ia secara tidak sengaja membuka penyamaran Liok Han Ki yang ternyata adalah seorang dara bahkan melihat buah dada seorang gadis perawan untuk pertamakalinya, wajah Liok Han Ki selalu terbayang-bayang dalam benaknya.
“Kebetulan aku juga hendak ke kota raja mencari teman” kata Bai Mu An. “Bagaimana kalau kita berdua berjalan bersama?” tanya Bai Mu An. Ia merasa cocok dengan Lie Kun Liong yang rendah hati.
“Boleh, kebetulan aku sendirian. Ditemani Bai-heng yang berpengalaman membuat aku senang” jawab Lie Kun Liong.

Nantikan selanjutnya di Pendekar Cinta - Jilid 7

Pendekar Cinta - Jilid 5

Jilid 5. Musibah di Sungai Yangtze

Suatu pagi mereka tiba di perkampungan nelayan di tepi sungai Yangtze. Sungai Yangtze adalah sungai terpanjang di antara 7 sungai besar lainnya di Tiongkok. Di bagian tengah dan hulu sungai terdapat tiga buah ngarai yang sangat panjang dan merupakan daerah pemandangan yang sangat terkenal keindahannya bagi para pelancong.

“Lie-heng bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan dengan menyewa perahu sehingga bisa menghemat waktu dan lebih santai” tanya Liok Han Ki.

“Boleh juga, aku memang belum pernah berkelana menyusuri sungai” sahut Lie Kun Liong.
Mereka lalu mencari tukang perahu yang mau menyewakan perahunya. Umumnya tukang perahu menolak membawa mereka karena tujuannya terlalu jauh. Beruntung seorang kakek tua bersedia membawa mereka dengan perahunya.

Sepanjang perjalanan dengan gembira Liok Han Ki melantunkan syair penyair terkenal Li Pai…

K'la pamitan Baidi dililiti awan lembayung pagi
Ribuan li menuju Jiangling ditempuh dalam sehari
Sepanjang tepi belum terputus pekikan suara lutung
Biduk ringan sudah melaju melewati gunung gemunung .

Lie Kun Liong bertepuk tangan memuji suara merdu Liok Han Ki dan berkata “Liok-heng sayir yang engkau lantunkan sangat cocok dengan keadaan kita sekarang, ternyata di samping pandai meniup seruling, Liok-heng juga pandai berpantun ria”
Sambil tertawa Liok Han Ki berkata “Jangan bergurau Lie-heng, aku juga tahu Lie-heng juga pasti pandai ilmu surat. Bagaimana kalau Lie-heng menyumbangkan sebuah syair buat aku dengar”
“Baiklah tapi jangan ditertawakan, pengetahuan aku masih kalah jauh sama Liok-heng” kata Lie Kun Liong. Ia melantunkan syair buatan penyair Shi Jing…

Pohon persik muda mekar
Bunganya indah mekar menyala
Anak dara jadi menantu
Keluarga baru rukun bahagia

Pohon persik muda mekar
Buahnya ranum padat berlimpah
Anak dara jadi menantu
Rumah tangga rukun bahagia

Pohon persik muda mekar
Daunnya subur hijau raya-raya
Anak dara jadi menantu
Sanak keluarga ikut bahagia

Liok Han Ki bertepuk tangan dengan semangat dan berkata “Wah Lie-heng rupanya sangat pandai dan memiliki pengetahuan yang dalam akan ilmu kesusasteraan, kagum..kagum..”

“Engkau bisa saja Liok-heng” sahut Liok Kun Liong malu. Syair ini sebenarnya aku sering dengar dari sahabat aku sehingga cukup apal, tapi kalau di suruh melantunkan syair yang lain aku menyerah.

“Kalau boleh tahu siapa sahabat Lie-heng itu, aku jadi ingin berkenalan” kata Liok Han Ki ingin tahu.

“Namanya Cin Cin dan teman aku sejak kecil” kata Lie Kun Liong.

“Jangan-jangan dia pujaan hati Lie-heng” kata Liok Han Ki bergurau namun wajahnya sedikit berubah tapi Lie Kun Liong memperhatikannya.

“Cin Cin aku anggap sebagai adik sendiri, Liok-heng” kata Lie Kun Liong.

Liok Han Ki tidak mendesak lagi walaupun ia sangat penasaran akan latar belakang Lie Kun Liong karena ia mempunyai kesulitan sendiri mengungkapkan jati dirinya.

Selama beberapa hari ke depan mereka dengan aman menyusuri sungai Yangtze. Bila merasa bosan dengan bekal yang mereka bawa, mereka menyuruh si kakek tukang perahu untuk menepi sebentar di kota terdekat dan memasuki restoran yang paling besar serta memesan masakan yang enak. Setelah puas mereka kembali ke perahu dan melanjutkan perjalanan. Untuk urusan tidur tidak mereka persoalkan karena perahu itu cukup besar cukup untuk beristirahat buat mereka bertiga.

Suatu hari perahu mereka sedang melaju perlahan-lahan menyusuri sungai, disebelah kanan-kiri sungai tampak pepohonan yang lebat dan rimbun.

“Jiwi berdua kita harus hati-hati di sini biasanya banyak begal air beraksi karena jauh dari kota ata perkampungan terdekat. Tapi setahu lohu setahun yang lalu sudah diobrak-abrik oleh seorang pendekar, namun siapa tahu masih ada sisa-sisa kawanan begal” kata kakek tukang perahu sambil menengahkan dan mempercepat luncuran perahunya.

“Jangan khawatir lopek, kita akan hancurkan mereka bila masih berani menganggu perahu yang lewat” kata Liok Han Ki. Memangnya siapa pendekar yang sudah menghancurkan markas mereka tanyanya ingin tahu.

“Menurut yang lohu dengar pendekar itu sedang menyusuri daerah sungai ini dengan perahunya seorang diri, tiba-tiba di serang kawan begal air namun ternyata pendekar itu lihai sekali, seorang diri ia mengalahkan puluhan begal air di atas perahunya. Orang bilang pendekar itu masih muda dan julukannya adalah Si Pedang Kilat.
“Oh dia” kata Liok Han Ki.

“Apa Liok-heng kenal dengan pendekar itu” kata Lie Kun Liong. Ia ingat pernah mendengar julukan Si Pedang Kilat dari penuturan
Cin Cin sebelum ia turun gunung.

“Aku pernah bertemu beberapa kali tapi tidak begitu mengenalnya” kata Liok Han Ki dengan wajah sedikit berubah merah namun tidak kentara oleh Lie Kun Liong.

“Kalau tidak salah aku pernah dengar pendekar muda yang sedang naik daun saat ini adalah Si Pedang Kilat dan Dewi Pedang” kata Lie Kun Liong.
Liok Han Ki diam tidak menanggapi seolah tidak mendengar perkataan Lie Kun Liong.

Tiba-tiba perahu mereka terguncang keras dan terdengar bunyi krak di bawah perahu serta di tepi kiri sungai muncul belasan begal air sambil mendayung perahu mendekati perahu mereka. Ada sekitar 5 perahu, mereka di pimpin seorang pria tinggi besar dengan wajah berewokan.
Ternyata mereka di serang dari dalam dan luar sungai sekaligus.

“Mereka mau menenggelamkan perahu kita” kata Liok Han Ki dengan panik. Lopek segera menepi, biar kita lawan mereka di tepi sungai. Namun sudah terlambat untuk menepikan perahu karena perahu-perahu perompak itu sudah dekat jaraknya.

“Liok-heng bisa berenang?” tanya Lie Kun Liong dengan gugup. Ia yang tinggal di gunung tidak pernah belajar berenang sehingga di serang begini rupa membuatnya rada gugup.

“Tidak bisa, aku dulu pernah belajar berenang tapi tidak diteruskan” sahut Liok Han Ki dengan gugup pula.

“Bagaimana ini” kata kakek tukang perahu sambil tetap mendayung perahunya dengan ketakutan.

“Liok-heng engkau tetap di sini melindungi tukang perahu, aku berjaga-jaga di belakang perahu” kata Lie Kun Liong buru-buru.

Para perompak itu mulai memanah mereka bertiga. Liok Han Ki sibuk menangkis panah-panah yang mengarah ke tubuh si kakek dan ke tubuhnya. Dengan tangkas ia menangkap anak panah-anak panah yang mengarah ketubuhnya lalu dengan lwekangnya ia meluncur balikkan anak panah-anak panah itu ke para perompak. Daya luncur yang sangat kuat tidak dapat di tangkis para perompak itu, beberapa dari mereka tertembus ujung panah dan jatuh ke sungai.
Lie Kun Long membidik para perompak yang berada di permukaan sungai dengan anak panah yang berhasil ia tangkap. Sudah ada beberapa orang berhasil ia bunuh dengan anak panah. Sebagian yang lain dengan cerdik menyelam ke dalam sungai sehingga susah bagi Lie Kun Liong untuk membidiknya.
Perahu yang mereka tumpangi mulai di guncang-guncang oleh para perompak di bawah air dan akhirnya air mulai masuk ke dalam perahu dengan cepat.
Si kakek tukang perahu sadar sebentar lagi perahunya akan karam, lalu ia terjun ke dalam air dan berusaha berenang ke tepi sungai.
“Liok-heng mari kita lompat ke perahu mereka, sebentar lagi perahu ini karam” teriak Lie Kun Liong.

Dengan mengembangkan ginkang, mereka melayang ke perahu para perompak dan hinggap di bagian buritan perahu sambil memutar-mutar pedang mereka menangkis anak panah.

Lie Kun Liong melompat ke arah perahu di mana pemimpin perompak itu berada. Dengan cepat ia melancarkan serangan ke pemimpin perompak itu. Tahu dirinya bukan tandingan Lie Kun Liong, pemimpin perompak itu lalu terjun ke dalam sungai di ikuti anak-buahnya. Dengan selulup di bawah air mereka sekarang berusaha menenggelamkan perahu yang dinaiki Lie Kun Liong dan Liok Han Ki, sedangkan perahu yang lain sudah mereka tenggelamkan untuk berjaga-jaga kedua pemuda itu melompat ke perahu yang lain.
Liok Han Ki berusaha mendayung perahu yang ia naiki ke tepi sungai, namun karena tidak menguasai ilmu dayung perahunya hanya bergerak maju sedikit. Bagian bawah perahunya sekarang sudah kemasukan air sungai, dengan panik ia mencoba mmbuang air yang masuk namun tiba-tiba perahunya terguncang hebat sehingga ia kehilangan kesimbangan dan tejatuh ke dalam sungai.

Sambil menahan nafas ia terus melawan dengan gigih para perompak itu di dalam air. Ada sekitar lima orang perompak mengepungya di dalam air. Ia berhasil menusuk mati dua dari lima orang perompak itu namun salah satu perompak berhasil memegang kakinya dan menyeretnya makin jauh ke bawah sungai.

Saking paniknya ia lupa kehabisan nafas, dengan gelagapan ia meminum air sungai. Makin lama makin banyak air yang ia minum dan akhirnya ia tidak tahu lagi apa yang tejadi.
Di bagian atas sungai Lie Kun Liong juga sedang keras menjaga agar perahu yang ia rebut jangan sampai dilobangi perompak namun tidak berhasil. Air dengan cepat mulai masuk dan membuat oleng perahunya. Tiba-tiba ia mempunyai akal, ia mencabut beberapa lembar papan yang ada di perahu itu dan melemparkannya ke sungai lalu ia melompat ke atas papan yang ia lemparkan tadi. Bagaikan burung bangau ia melayang dan menutulkan kakinya di atas papan itu sebagai tempat pijakan sementara sambil melemparkan papan-papan kayu yang lain menuju ke tepi sungai. Dengan menggunakan papan-papan sebagai batu loncatan ia berhasil mencapai tepi sungai.
Ketika ia melihat ke tengah sungai, ia tidak melihat Liok Han Ki. Dengan gugup ia berlari sepanjang sisi sungai mencari jejak kawannya itu namun Liok Han Ki tidak kelihatan batang hidungnya.
Saat Lie Kun Liong melompat ke tepi sungai, kawanan perompak itu tidak tahu karena mereka berada di bawah air. Dengan bersembunyi di balik pepohonan Lie Kun Liong menunggu kawanan perompak itu keluar dari sungai.

Tidak berapa lama kemudian, seperti yang ia harapkan kawanan perompak itu keluar dari sungai. Jumlah meraka tinggal beberapa orang saja termasuk pemimpin perompak serta Liok Han Ki yang pingsan kebanyakan minum air sungai.

Dengan marah Lie Kun Liong tanpa basa basi keluar dari persembunyiannya dan langsung menyerang para perompak dengan ilmu pedangnya. Jelas mereka bukan tandingan Lie Kun Liong, hanya dalam waktu sekejap mereka terbasmi habis dan hanya tinggal pemimpin perompak itu yang masih bertahan sekuatnya. Tapi akhirnya dengan sabetan pedang yang di lancarkan Lie Kun Liong bagaikan kilat tidak dapat ia hindarkan lagi. Ia tewas dengan tubuh tertembus pedang Lie Kun Liong.
Lie Kun Liong dengan tergesa-gesa menghampiri Liok Han Ki yang terbaring pingsan, mukanya pucat dan perutnya kembung. Ia membalikkan tubuh Liok Han Ki untuk mengeluarkan air dari perut lalu memeriksa nafas Liok Han Ki. Tidak ada nafas, dengan panik ia membuka mulut Liok Han Ki dan menyalurkan nafas buatan dari mulut ke mulut, namun sesudah beberapa kali mencoba tidak berhasil. Rupanya di perut Liok Han Ki masih ada air sungai yang belum seluruhnya keluar.
Tanpa pikir panjang Lie Kun Liong menekan-nekan perut Liok Han Ki untuk mengeluarkan air yang tersisa, lalu menempelkan telinganya di dada Liok Han Ki untuk memeriksa denyut jantungnya. Jantungnya berhenti berdetak, segera ia menekan ke dua tangannya ke dada Liok Han Ki namun terhalang sesuatu yang kenyal, dengan heran ia membuka baju Liok Han Ki dan di depan matanya terpampang dua gumpalan buah dada yang membusung dihiasi puting kecil kemerahan – tampak segar dan ranum bagaikan buah apel segar kemerahan dan manis rasanya.
Payudara yang membusung itu di balut oleh kulit yang putih mulus dan lapat-lapat tercium harum aroma tubuh gadis perawan. Lie Kun Liong terbelialak menatap gundukan buah dada yang ranumdan terawat rapi, ternyata Liok Han Ki adalah seorang dara muda..!.
Selama hidupnya belum pernah ia melihat buah dada seorang gadis perawan. Dengan hati berdebar-debar Lie Kun Liong menutup baju Liok Han Ki dan dengan mengeraskan hati ia meneruskan kedua tangannya menekan dada Liok Han Ki secara berkelanjutan sambil sekali kali meniupkan nafas ke mulut Liok Han Ki.
Tiba-tiba Liok Han Ki tersedak dan nafasnya mulai berjalan kembali. Lie Kun Liong menghentikan usahanya sambil menatap wajah Liok Han Ki yang mulai berubah warnanya dari pucat ke warna kemerahan. Dengan perlahan Liok Han Ki membuka matanya dan melihat wajah Lie Kun Liong yang masih melongo kebingungan berlutut di samping tubuhnya.
Sambil berusaha duduk ia bertanya kepada Lie Kun Liong “Lie-heng, apa yang terjadi, bagaimana dengan perompak-perompak tadi?” Ketika ia sedang berbicara, sekonyong-konyong ia melihat bajunya tersingkap dan akibatnya buah dadanya kembali tersembul keluar sebagian. Dengan menjerit lirih ia merapatkan bajunya sambil menatap tajam Lie Kun Liong dengan kedua bola matanya yang mulai mengeluarkan letupan-letupan kemarahan.
“Ma..aaf caa..hyee tidak sengaja, jantung dan nafas Liok-heng berhenti, terpaksa…” kata Lie Kun Liong dengan terbata-bata tanpa menyelesaikan perkataannya.
Liok Han Ki segera ingat apa yang terjadi, terakhir kali ia berada di bawah sungai sedang bertempur dengan kawanan perompak, ia sadar apa yang dilakukan Lie Kun Liong adalah untuk menolongnya. Namun sebagai seorang gadis ia merasa malu seorang pria telah menyentuh bibir dan melihat buah dadanya yang putih bersih. Sambil terisak ia berlari menjauhi Lie Kun Liong.
Lie Kun Liong diam terpaku menatap kepergian Liok Han Ki. Ia tidak mempunyai tenaga untuk mengejarnya, sudah terlalu banyak kejadian hari ini yang membuat dirinya shock. Dengan tubuh lunglai ia meninggalkan tepi sungai dan melanjutkan perjalanan seorang diri.
Akhirnya ia sampai di kota dan segera mencari penginapan untuk membersihkan badan dan berharap berjumpa Liok Han Ki di situ.
Keesokan harinya ia berkeliling kota mencari Liok Han Ki namun bayangannyapun tak tampak, gelagatnya Liok Han Ki tidak berada di kota ini atau jangan-jangan telah berlalu dari kota ini pikirnya.
Tergesa-gesa ia kembali ke penginapan dan meminta pelayan hotel membelikannya seekor kuda, ia berniat melanjukan perjalanan dengan berkuda supaya lebih cepat.

Selanjutnya di Pendekar Cinta - Jilid 6

Pendekar Cinta Jilid 4

Jilid 4. Pertempuran yang dahsyat

Malam turun dan semakin larut. Tampak tiga bayangan orang berkelabat bagai angin di atas atap rumah penduduk menuju ke pinggiran kota. Tidak lama kemudian bayangan tersebut berhenti di atas tembok gedung yang besar. Dengan berhati-hati mereka mengamati sekelilingnya. Sambil mengerahkan ginkang masing-masing ketiganya melompat turun ke pekarangan gedung itu.

Di tengah gedung terdapat ruangan yang masih terang benderang dan suara percakapan sekelompok orang.
Dengan berindap-indap mereka bertiga mendekati sumber suara. Untungnya di dekat ruangan itu terdapat pohon yang rindang sehingga memudahkan mereka menyembunyikan diri.
Di dalam ruangan itu tampak sekitar delapan orang sedang duduk di atas meja bundar sambil makan-makan. Di ujung meja yang menghadap pintu tampak seorang pria pertengahan umur berkisar 40 tahunan sedang berbicara.

“Majikan memerintahkan kita untuk terus menghadang dan merampas barang kawalan piauwkiok “Harimau Kemala” kata pria itu. Aku mendapat kabar yang boleh dipercaya bahwa dua teman kita Si-heng dan Ti-heng telah gagal menjalankan tugas dan gugur di bunuh orang yang menolong kawanan piauwsu itu – sepasang pemuda yang kabarnya memiliki ilmu silat yang lihai sekali. Asal mula mereka sampai sekarang misterius, majikan menyuruh kita untuk berhati-hati bila kesampok mereka berdua.

Untuk sementara kita sebaiknya kita membagi diri hanya menjadi dua kelompok bukan lima kelompok seperti biasanya untuk memperkuat keberhasilan kita. Aku juga sudah mendengar siau kongcu dari piauwkiok “Harimau Kemala” sudah turun tangan dan berada di kota ini. Bila tiba waktunya biar aku atau Ji-heng yang menghadapinya.

Mendengar pembicaran mereka dan sudah memastikan bahwa memang benar mereka yang berada di dalam ruangan itu adalah kawanan penjahat yang selama ini menghadang barang bawaan piauwkioknya, Liu Cin Hok tidak sabar lagi dan membentak “Aku Liu Cin Hok sudah di sini, kalian perampok laknat jangan harap lolos kali ini dari tanganku”

Mereka yang berada di dalam ruangan kaget sekali, dengan sebat mereka menghadang dan mengepung Liu Cin Hok. Dengan mengembangkan seantero kepandaiannya, Liu Cin Hok menghadapi kawanan perampok itu dengan gagah berani.

“Kalian mundur semua” kata pria pertengahan menyuruh mundur anak buahnya. “Ji-heng, tolong kau hadapi siau kongcu kita ini” kata pria itu.
Dengan lagak jumawa keluar seorang pria berusia 35 tahunan dengan wajah berkumis dan matanya tajam bagaikan elang, menghampiri Liu Cin Hok.

“Rupanya ini siau kongcu dari perusahaan piauwkiok “Harimau Kemala, lebih baik suruh bapakmu datang ke sini menghadapi aku” katanya sambil mencemooh.

Dengan tenang Liu Cin Hok menghadapi pria yang dipanggil Ji-heng itu dan tidak memberikan komentar apapun. Ia sadar akan menghadapi pertempuran hidup mati dengan kawanan perampok ini dan diperlukan ketenangan serta tidak terpancing dengan siasat yang dijalankan musuh.

Ia langsung mengambil inisitif menyerang dan ingin menyelesaikan pertempuran secepat mungkin. Kematangan jurus yang ia lancarkan sudah mencapai taraf tertinggi, tidak malu ia sebagai orang kedua dari perusahaan piauwkiok “Harimau Kemala” yang membawahi ribuan orang.

Dari pengalaman tempurnya selama ia membantu ayahnya menjalankan perusahaan piauwkiok, baru kali ini ia menghadapi perlawanan yang ketat dari musuhnya. Perampok yang di panggil dengan Ji-heng ini memiliki ilmu pedang yang cukup mengejutkan, dengan baik ia dapat melayani semua serangan Liu Cin Hok bahkan membalas dengan tidak kalah hebatnya. Liok Han Ki dan Lie Kun Liong yang masih bersembunyi di atas pohon menyaksikan dengan kagum jalannya pertempuran di bawah. Mereka mengagumi kecepatan dan keindahan ilmu pedang Go Bi Pay yang dimainkan Liu Cin Hok. Namun mereka juga heran dan kagum akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan oleh si perampok itu yang dapat mengimbangi dengan baik semua serangan Liu Cin Hok.

Mereka tidak dapat meraba dari aliran mana ilmu si perampok itu. Jelas ia termasuk jago kosen dunia persilatan namun Liok Han Ki yang sudah cukup berpengalaman berkecimpung di dunia persilatan belum pernah mendengar ada jago kosen dengan ilmu pedang yang sangat lihai ini.
Khawatir Liu Cin Hok di bokong selagi bertempur, mereka berdua lalu turun menerobos ke dalam ruangan Kedatangan mereka di sambut dengan serangan berbagai macam pedang yang dilancarkan oleh 4 orang perampok. Rupanya pria pertengahan yang menjadi pemimpin sudah menduga bahwa Liu Cin Hok pasti membawa kawan-kawannya untuk membantu menghadapi mereka.

Di keroyok masing-masing oleh dua orang perampok, Liok Han Ki dan Lie Kun Liong melayani dengan tenang sambil sekali-kali melirik pertempuran Liu Cin Hok. Ilmu pedang yang dimainkan ke empat perampok itu berasal dari sumber yang sama dengan perampok yang bernama Ji-heng, jelas mereka berasal dari perguruan yang sama. Liok Han Ki melayani mereka dengan hati-hati dan mengerahkan semua kemampuannya untuk mengalahkan mereka. Dengan jurus pedang andalannya ia mencecar ke dua perampok itu sehingga mereka hanya bisa bertahan sekuatnya tanpa mampu membalas. Namun tidak mudah bagi Liok Han Ki untuk merobohkan mereka karena mereka bertahan dengan gigih, dibutuhkan puluhan jurus lagi sebelum ia dapat menghancurkan pertahanan mereka.

Sementara itu Lie Kun Liong juga menghadapi pertarungan yang ketat dengan lawan-lawannya. Baru kali ini ia terlibat pertempuran yang hebat sejak turun gunung sehingga merupakan kesempatan untuk menambah jam tempurnya. Ia mengeluarkan jurus-jurus pedang yang sering dilatihnya menghadapi mereka. Ternyata tidak sia-sia ia berlatih dengan tekun, lawan-lawannya sangat keteteran menghadapi ilmu pedangnya. Tidak sampai belasan jurus lagi mereka berdua pasti kalah namun kedua perampok itu bertahan sebisanya sambil mengharapkan bantuan dari teman-temannya.

Menyaksikan jalannya pertempuran itu, si pemimpin perampok sadar kalau dibiarkan lebih lama merka akan mengalami kekalahan, maka ia memerintahkan tiga orang yang tersisa untuk ikut mengeroyok Liok Han Ki sehingga Liu Cin Hok dan Liok Han Ki masing-masing menghadapi 3 orang perampok. Keadaan sementara cukup berimbang. Sedangkan si pemimpin perampok juga ikut terjun kedalam pertempuran dan mengeroyok Lie Kun Liong. Ia memilih Lie Kun Liong karena ia sadar dari ketiganya yang ilmunya paling tinggi adalah Lie Kun Liong.

Mendapat bantuan dari pemimpinnya, kedua perampok yang mengeroyok Lie Kun Liong bernafas lega karena tekanan terhadap mereka mengendur sedikit. Lie Kun Liong harus membagi perhatiannya terhadap serangan dari si pemimpin perampok. Serangannya tidak boleh dianggap enteng, ia harus mengerahkan semua perhatian utuk menghadapinya. Si pemimpin merupakan lawan paling tangguh yang pernah dihadapi Lie Kun Liong sejak turun gunung. Tidak heran perusahaan piauwkiok “Harimau Kemala” mengalami pembegalan sampai delapan kali tanpa perlawanan. Ternyata para perampoknya memiliki ilmu silat yang sangat mengejutkan.
Semakin lama pertempuran semakin sengit dan semakin mendebarkan hari, semua pihak bertarung mati-matian untuk meraih kemenangan.

Semakin lama dikeroyok oleh tiga perampok itu, Liu Cin Hok mulai terdesak dan sekarang keadaan mulai berbalik ia hanya bisa bertahan dan sesekali melancarkan serangan. Liok Han Ki yang menyaksikan itu sadar ia harus segera merobohkan lawan-lawannya secepatnya dan membantu Liu Cin Hok. Ia melancarkan serangan ke arah salah satu pengeroyoknya yang paling lemah sambil berkelit dari tujaman pedang perampok lainnya. Kali ini serangannya cukup berhasil menggores pundak si perampok hingga bercucuran darah dan tekanan sedikit berkurang.

Dengan semangat Liok Han Ki terus mengincar lawannya yang terluka. Ujung pedangnya berkelabat ke sana kemari menangkis serangan lawan sambil mencari kesempatan untuk melakukan serangan yang mematikan. Kesempatan itu datang tidak lama kemudian ketika perampok yang terluka itu gerakannya sedikit lambat dan tidak disia-siakan Liok Han Ki. Sambil berputar ia menyabetkan pedangkan ke arah perut si perampok dan disusul dengan serangan kilat yang tak dapat ditangkis oleh perampok yang terluka – ia hanya melihat kilau pedang Liok Han Ki sudah berada di depan mata dan tahu-tahu sudah menembus tenggorokannya.

Dengan mengeluarkan suara krok krok si perampok sudah mati sebelum jatuh ke lantai. Kedua perampok yang lain dengan meraung murka semakin memperhebat serangan mereka namun dengan berkurangnya satu orang yang mengeroyoknya, Lik Han Ki semakin leluasa memainkan ilmu pedangnya sampai tingkat tertingginya. Ia mulai melancarkan serangan-serangan kilat dan kilau pedangnya berseliweran bagaikan sinar pelangi sehabis hujan sore hari, sangat indah sekali. Tapi bagi kedua perampok itu pedang Liok Han Ki bagaikan malaikat pencabut nyawa yang semakin dekat mengancam mereka. Dengan gerakan yang sangat manis Liok Han Ki menghabisi salah satu pengeroyoknya tanpa sempat dihalangi lawannya yang lain. Kini dengan hanya tersisa satu orang, Liok Han Ki dengan cepat menghabisi lawannya yang sudah patah semnagat bertempurnya, lalu meluncur ke arah Liu Cin Hok untuk membantu menghalau kawan perampok itu. Kedatangannya menambah semangat Liu Cin Hok, dengan bergabung keduanya mampu melayani keroyokan ke tiga perampok itu.

Di pertempuran antara Lie Kun Liong dan lawan-lawannya juga sudah mendekati tahap akhir dimana salah seorang perampok sudah terluka kakinya oleh pedang Lie Kun Liong. Mendadak si pemimpin perampok itu bersuit nyaring sambil melemparkan semacam bola kecil ke lantai dan segera mengeluarkan asap memenuhi seluruh ruangan. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan pihaknya si pemimpin perampok memberi isyarat mundur ke anak buahnya.

Lie Kun Liong, Liok Han Ki dan Liu Cin Hok mundur keluar ruangan menghindari asap tersebut, takut asap itu mengandung racun. Setelah asap buyar, kawanan perampok itu sudah menghilang di kegelapan malam.

“Tidak usah di kejar, siapa tahu mereka masih mempunyai kawan-kawan lainnya” kata Liu Cin Hok.
Mereka lalu memeriksa isi gedung dan di salah satu ruangan mereka menemukan peti-peti hasil rampasan dari piauwkiok “Harimau Kemala”.

“Aku mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan jiwi berdua, tanpa bantuan kalian entah apa yang terjadi” kata Liu Cin Hok sambil menghela nafas.

“Sama-sama Liu-heng, sudah sepantasnya kita sebagai kaum persilatan saling membantu” sahut Lie Kun Liong.

“Aku harus segera memberi kabar ke ayah bahwa kawanan perampok ini sangat lihai supaya dapat berjaga-jaga. Mungkin kami harus mengundang teman-teman ayah untuk menghadapi mereka” kata Liu Cin Hok.

“Aku rasa mereka sementara pasti berdiam diri dulu sambil menyusun kekuatan baru sebelum bertindak lagi” kata Liok Han Ki. Yang mengherankan siapa orang dibalik semua ini yang bisa mempunyai anak buah selihai itu dan memiliki ilmu silat yang tidak kalah dengan murid-murid utama partai-partai besar. Dan apa tujuan mereka membegal piauwkiok “Harimau Kemala” ?

Setelah membereskan peti-peti yang berisi barang-barang kawalan piauwkiok “Harimau Kemala”, Liok Han Ki dan Lie Kun Liong berpisah dengan Liu Cin Hok kembali ke penginapan mereka untuk beristirahat memulihkan tenaga.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda beberapa hari.

Selanjutnya di Pendekar Cinta Jilid 5