Jilid 2. Kembali ke kampung halaman
Bulan tiga seputar Kota Siangyang*,
Ribuan bunga, 'bak gambar sulaman.
Mana tahan, merana di musim semi,
Sudah gini, jadi penginnya minum.
Kaya miskin, panjang pendek usia,
Jengukan takdir, saat pagi buta.
'Bis seguci, tak p'duli hidup mati,
Sulit meramal, yang bakal terjadi.
Sudah mabuk, terus lupa daratan,
Tersentak kaget, cuma ada guling.
Tidak sadar diri, lupa semuanya,
Nikmatnya arak, di atas segala.
*sekitar kota Chang An sekarang
Syair buatan penyair kenamaan Li Pai ini terpampang di dinding kedai
arak “Wei An” di salah satu sudut kota Siangyang, terkenal akan ciu
(arak)nya yang harum dan memabokkan terutama arak Huangciu buatan kedai
ini sangat terkenal. Boleh di bilang pengemar arak yang mampir di kota
Siangyang ini tidak akan melewatkan kesempatan mencicipi Huangciu dari
kedai ini.
Siang hari itu cerah dimana matahari bersinar lembut dan tiada awan,
nampak seorang pemuda berpakaian sederhana namun bersih mendatangi kedai
arak “Wei An” dan memilih duduk di pojokan meja dekat jendela menghadap
jalanan. Ia memesan seporsi bakmi, beberapa potong bakpau dan tentunya
Huangciu buatan kedai ini.
Sambil menikmati Huangciu dan makanan yang dipesan, ia memandang jalanan
disekitarnya. Siang hari itu tidak banyak orang yang berlalu lalang
begitu pula keadaan kedai ini cuma berisi dua tiga orang tamu saja.
“Cukup sepi hari ini lopek” sapa si pemuda ke pelayan kedai.
“Ya kongcu (tuan muda), biasanya nanti mulai sore hingga malam hari pelanggan kedai ini baru pada datang” sahut pelayan itu.
“Lopek sudah lama bekerja di sini?” tanya si pemuda.
“Sudah tigapuluh tahunan kongcu” jawab si pelayan.
“Aku (saya) baru pertama kali datang ke kota ini lopek, mau mengunjungi
saudara misan ayah yang tinggal di sebelah ujung jalan ini. Apakah lopek
tahu letak kediamanan keluarga Lie, yang menjalankan usaha toko obat ?”
tanya si pemuda.
“Oh maksud kongcu adalah pemilik toko obat yang dipanggil Lie sinshe
(tabib) ?” jawab si pelayan dengan rasa kaget. Sayang sekali keluarga
Lie sinshe 12 tahun yang lalu mengalami musibah. Lie sinshe dan istrinya
ditemukan tewas mengenaskan dan anak lelakinya menghilang tak
berketentuan. Menurut pelayan keluarga itu yang kebetulan keponakan
kenalan lohu – namanya A hwi, ketika kejadian ia kebetulan sedang keluar
dan baru saja hendak kembali ketika ia melihat bayangan beberapa orang
berpakaian hitam dan berkedok turun dari kereta kuda dan menuju kediaman
Lie sinshe.
Melihat gelagat kurang baik ia segera sembunyi di pojokan jalan. Tak
berapa lama kemudian ia mendengar suara orang berkelahi. Ia semakin
ketakutan dan tidak berani keluar dari tempat sembunyinya. Ia baru
berani keluar setelah ia melihat gerombolan berpakaian hitam itu keluar
dan menghilang dikegelapan malam.
Dengan memberanikan diri, ia mengendap-endap mendekati kediaman Lie
sinshe dan menemukan suami istri itu telah tewas. Namun di dekat mayat
Lie sinshe ia menemukan sebaris huruf dari goresan tangan Lie sinshe
sebelum meninggal.
“Apa isi tulisan tangan itu” tanya si pemuda dengan muka tegang.
“Tulisan itu cuma berisi kata Bu Tong” sahut si pelayan. Menurut pihak
keamanan kota, peristiwa itu merupakan perselisihan dunia kangouw
sehingga mereka tidak berani mengusutnya lebih lanjut dan langsung
menguburkan mereka di pemakaman di sebelah Timur pinggiran kota ini.
“Apa benar mereka yang kongcu cari?” Tanya si pelayan dengan nada menyelidik.
“Kemungkinan besar benar lopek” kata si pemuda dengan nada sedih. Aku
mau menyambangi kuburan mereka untuk memberi penghormatan terakhir,
mohon tunjukan arah ke pemakaman itu lopek” kata si pemuda.
“Silakan kongcu ambil arah ke kiri dari ujung jalan ini, lalu setelah
sampai ke pinggiran kota, belok ke kanan. Tidak jauh dari situ ada bukit
dan di puncak bukit itu kuburan mereka berada” jawab si pelayan.
“Terima kasih banyak lopek atas informasi dan petunjuknya” sahut si
pemuda sambil membayar makanan dan memberi tip yang lumayan besar buat
si pelayan itu.
“Sama-sama kongcu” jawab si pelayan dengan muka berterima kasih.
Mengikuti petunjuk si pelayan tadi, si pemuda yang kita kenal sekarang
sebagai Lie Kun Liong tiba di puncak bukit dimana kuburan itu berada.
Keadaan kuburan siang hari itu sunyi dengan beberapa deretan kuburan
yang masih segar dan merah. Ia berjalan perlahan-lahan membaca tanda
nama di setiap kuburan itu yang cukup luas. Di ujung kuburan itu
akhirnya ia menemukan papan nama kedua orangtuanya.
Sambil berlutut dan menumpahkan air mata kesedihan yang sudah lama
ditahannya di depan kuburan kedua orangtuanya, Lie Kun Liong berdoa bagi
ketenangan jiwa mereka dan memohon petunjuk mereka untuk dapat
menangkap pembunuh berdarah dingin itu.
Di saat ia masih di landa kesedihan, tiba-tiba ia mendengar suara
seruling. Suara itu datang cukup jauh dari kuburan dan dari arah
berlawanan dimana ia datang tadi.
Dengan perasaan tertarik, Lie Kun Liong berjalan mendekati suara
seruling itu. Ternyata suara seruling itu berasal dari bawah bukit
sebelah Barat. Di atas batu besar duduk bersila seorang pemuda berbaju
putih sedang meniup seruling. Suara seruling itu lembut dan merdu serta
mendayu-dayu. Dengan irama lagu cinta yang lancar, nadanya relatif
panjang dan dapat dengan baik mengungkapkan seluruh pikiran dan perasaan
si peniup suling. Memberikan rasa indah yang mendalam.
Setelah selesai meniup seruling si pemuda berbaju putih lalu bangkit dan
berbalik menghadap arah datangnya Lie Kun Liong. Rupanya ia sudah tahu
kedatangan Lie Kun Liong. Wajahnya sangat tampan dan halus. Pakaian yang
dikenakannya putih bersih dan terbuat dari bahan kwalitas bagus. Ia
kelihatan seperti seorang siucai yang hendak menempuh ujian di kota
raja.
“Tiupan seruling saudara sangat merdu, maaf bila aku menganggu
ketenangan saudara” kata Lie Kun Liong sambil berjalan mendekat. Aku Lie
Kun Liong kebetulan berada di kuburan di sebelah sana dan mendengar
tiupan seruling saudara.
“Ah, tidak apa-apa “ kata si pemuda baju putih. Aku juga kebetulan lewat
dan tertarik dengan suasana pemandangan di sini sehingga timbul
keinginan untuk meniup seruling. Nama aku Liok Han Ki. Saudara penduduk
di sekitar sini ?
“Di sini kampung halaman aku dan baru hari ini kembali ke sini untuk
menyambangi kuburan orang tua aku “ kata Lie Kun Liong. Karena Liok-heng
baru pertama kali ke sini sebaiknya Liok-heng bermalam di penginapan
dekat tengah kota. Penginapan di sana cukup bersih dan ada restorannya
sehingga tidak perlu keluar dari penginapan untuk mencari makan.
Kalau Liok-heng suka minum arak, tidak boleh melewatkan arak buatan kedai arak “Wei An” yang terletak di sudut kota ini.
“Terima kasih atas petunjuk Lie-heng, aku sebenarnya tidak biasa minum
arak tapi untuk secangkir dua cangkir bolehlah, apalagi kata-kata
Lie-heng tentang arak buatan kedai “We An” menarik minat aku untuk
mencobanya” kata Liok Han Ki.
Sesampainya di kedai arak mereka langsung memesan dua poci arak Huangciu dan makanan sekedarnya.
“Memang enak dan harum arak ini, sudah lama aku tidak mersakan arak
seharum ini” kata Liok Han Ki sambil menuang kembali seloki arak. Maaf,
kalau aku lihat Lie-heng pasti memiliki ilmu silat yang tinggi. Kalau
boleh tahu siapa guru dan dari aliran mana perguruan Lie-heng ? tanya
Liok Han Ki.
“Ah cuma untuk sekedar jaga diri saja Liok-heng, aku belajar dari guru
silat biasa dan bukan dari aliran perguruan terkenal” sahut Lie Kun
Liong mengelak. Malah ilmu silat Liok-heng pasti lihai sekali sambil
menatap sarung pedang yang di sandang Liok Han Ki.
Sambil tersenyum Liok Han Ki berkata, “Lie-heng terlalu merendahkan
diri, melihat sinar mata Lie-heng yang tajam aku rasa tidak sembarang
jago silat dapat mengalahkan Li-heng”.
“Oh ya, Liok-heng hendak menuju kemana ?” kata Lie Kun Liong mengalihkan perhatian.
“Sejak keluar dari perguruan aku ingin sekali berkunjung ke kota raja.
Sudah lama aku dengar kemegahan Nanking yang terkenal dengan masakannya
yang enak-enak dari restoran-restoran terkenal, istana raja, serta taman
danu kerajaan yang indah” kata Liok Han Ki. Kalau Lie-heng mau kemana ?
“Aku mau mengunjungi Butong-san (gunung Butong), aku dengar Butong-san
terkenal akan keindahan pemandangannya, di samping itu juga ingin
sekedar melihat kemegahan partai Butong, syukur bila bisa berkenalan
dengan para pendekar dari Butong” kata Lie Kun Liong.
“Kalau begitu arah perjalanan kita sama. Kebetulan aku juga belum pernah
mengunjungi Butong-san, kalau Lie-heng tidak keberatan, aku ingin
mengadakan perjalanan bersama Lie-heng pergi ke Butong-san” Liok Han Ki
dengan bersemangat.
“Bagaimana dengan keinginan Liok-heng mengunjungi kota raja” tanya Lie
Kun Liong ragu-ragu karena ia sebenarnya ingin pergi sendiri ke Butong
untuk menyelidiki kematian orang tuanya yang gelagatnya berkaitan erat
dengan Butong. Ia tidak ingin melibatkan kawan barunya ini dalam
persoalan pribadinya.
“Kunjungan ke Nanking bisa aku tunda dulu setelah menemani Liok-heng ke
Butong-san” kata Liok Han Ki dengan pasti. Lagi pula sebelum ke Nanking
harus melewati Butong-san dulu.
Nantikan berikutnya di : Pendekar cinta Jilid 3
Kamis, 07 Agustus 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Dí lo que piensas...