Kamis, 07 Agustus 2014

Pendekar Cinta - Jilid 2

Jilid 2. Kembali ke kampung halaman

Bulan tiga seputar Kota Siangyang*,
Ribuan bunga, 'bak gambar sulaman.
Mana tahan, merana di musim semi,
Sudah gini, jadi penginnya minum.
Kaya miskin, panjang pendek usia,
Jengukan takdir, saat pagi buta.
'Bis seguci, tak p'duli hidup mati,
Sulit meramal, yang bakal terjadi.
Sudah mabuk, terus lupa daratan,
Tersentak kaget, cuma ada guling.
Tidak sadar diri, lupa semuanya,
Nikmatnya arak, di atas segala.

*sekitar kota Chang An sekarang

Syair buatan penyair kenamaan Li Pai ini terpampang di dinding kedai arak “Wei An” di salah satu sudut kota Siangyang, terkenal akan ciu (arak)nya yang harum dan memabokkan terutama arak Huangciu buatan kedai ini sangat terkenal. Boleh di bilang pengemar arak yang mampir di kota Siangyang ini tidak akan melewatkan kesempatan mencicipi Huangciu dari kedai ini.

Siang hari itu cerah dimana matahari bersinar lembut dan tiada awan, nampak seorang pemuda berpakaian sederhana namun bersih mendatangi kedai arak “Wei An” dan memilih duduk di pojokan meja dekat jendela menghadap jalanan. Ia memesan seporsi bakmi, beberapa potong bakpau dan tentunya Huangciu buatan kedai ini.

Sambil menikmati Huangciu dan makanan yang dipesan, ia memandang jalanan disekitarnya. Siang hari itu tidak banyak orang yang berlalu lalang begitu pula keadaan kedai ini cuma berisi dua tiga orang tamu saja.
“Cukup sepi hari ini lopek” sapa si pemuda ke pelayan kedai.
“Ya kongcu (tuan muda), biasanya nanti mulai sore hingga malam hari pelanggan kedai ini baru pada datang” sahut pelayan itu.
“Lopek sudah lama bekerja di sini?” tanya si pemuda.
“Sudah tigapuluh tahunan kongcu” jawab si pelayan.
“Aku (saya) baru pertama kali datang ke kota ini lopek, mau mengunjungi saudara misan ayah yang tinggal di sebelah ujung jalan ini. Apakah lopek tahu letak kediamanan keluarga Lie, yang menjalankan usaha toko obat ?” tanya si pemuda.

“Oh maksud kongcu adalah pemilik toko obat yang dipanggil Lie sinshe (tabib) ?” jawab si pelayan dengan rasa kaget. Sayang sekali keluarga Lie sinshe 12 tahun yang lalu mengalami musibah. Lie sinshe dan istrinya ditemukan tewas mengenaskan dan anak lelakinya menghilang tak berketentuan. Menurut pelayan keluarga itu yang kebetulan keponakan kenalan lohu – namanya A hwi, ketika kejadian ia kebetulan sedang keluar dan baru saja hendak kembali ketika ia melihat bayangan beberapa orang berpakaian hitam dan berkedok turun dari kereta kuda dan menuju kediaman Lie sinshe.

Melihat gelagat kurang baik ia segera sembunyi di pojokan jalan. Tak berapa lama kemudian ia mendengar suara orang berkelahi. Ia semakin ketakutan dan tidak berani keluar dari tempat sembunyinya. Ia baru berani keluar setelah ia melihat gerombolan berpakaian hitam itu keluar dan menghilang dikegelapan malam.
Dengan memberanikan diri, ia mengendap-endap mendekati kediaman Lie sinshe dan menemukan suami istri itu telah tewas. Namun di dekat mayat Lie sinshe ia menemukan sebaris huruf dari goresan tangan Lie sinshe sebelum meninggal.

“Apa isi tulisan tangan itu” tanya si pemuda dengan muka tegang.
“Tulisan itu cuma berisi kata Bu Tong” sahut si pelayan. Menurut pihak keamanan kota, peristiwa itu merupakan perselisihan dunia kangouw sehingga mereka tidak berani mengusutnya lebih lanjut dan langsung menguburkan mereka di pemakaman di sebelah Timur pinggiran kota ini.
“Apa benar mereka yang kongcu cari?” Tanya si pelayan dengan nada menyelidik.

“Kemungkinan besar benar lopek” kata si pemuda dengan nada sedih. Aku mau menyambangi kuburan mereka untuk memberi penghormatan terakhir, mohon tunjukan arah ke pemakaman itu lopek” kata si pemuda.

“Silakan kongcu ambil arah ke kiri dari ujung jalan ini, lalu setelah sampai ke pinggiran kota, belok ke kanan. Tidak jauh dari situ ada bukit dan di puncak bukit itu kuburan mereka berada” jawab si pelayan.

“Terima kasih banyak lopek atas informasi dan petunjuknya” sahut si pemuda sambil membayar makanan dan memberi tip yang lumayan besar buat si pelayan itu.

“Sama-sama kongcu” jawab si pelayan dengan muka berterima kasih.
Mengikuti petunjuk si pelayan tadi, si pemuda yang kita kenal sekarang sebagai Lie Kun Liong tiba di puncak bukit dimana kuburan itu berada. Keadaan kuburan siang hari itu sunyi dengan beberapa deretan kuburan yang masih segar dan merah. Ia berjalan perlahan-lahan membaca tanda nama di setiap kuburan itu yang cukup luas. Di ujung kuburan itu akhirnya ia menemukan papan nama kedua orangtuanya.

Sambil berlutut dan menumpahkan air mata kesedihan yang sudah lama ditahannya di depan kuburan kedua orangtuanya, Lie Kun Liong berdoa bagi ketenangan jiwa mereka dan memohon petunjuk mereka untuk dapat menangkap pembunuh berdarah dingin itu.
Di saat ia masih di landa kesedihan, tiba-tiba ia mendengar suara seruling. Suara itu datang cukup jauh dari kuburan dan dari arah berlawanan dimana ia datang tadi.

Dengan perasaan tertarik, Lie Kun Liong berjalan mendekati suara seruling itu. Ternyata suara seruling itu berasal dari bawah bukit sebelah Barat. Di atas batu besar duduk bersila seorang pemuda berbaju putih sedang meniup seruling. Suara seruling itu lembut dan merdu serta mendayu-dayu. Dengan irama lagu cinta yang lancar, nadanya relatif panjang dan dapat dengan baik mengungkapkan seluruh pikiran dan perasaan si peniup suling. Memberikan rasa indah yang mendalam.

Setelah selesai meniup seruling si pemuda berbaju putih lalu bangkit dan berbalik menghadap arah datangnya Lie Kun Liong. Rupanya ia sudah tahu kedatangan Lie Kun Liong. Wajahnya sangat tampan dan halus. Pakaian yang dikenakannya putih bersih dan terbuat dari bahan kwalitas bagus. Ia kelihatan seperti seorang siucai yang hendak menempuh ujian di kota raja.
“Tiupan seruling saudara sangat merdu, maaf bila aku menganggu ketenangan saudara” kata Lie Kun Liong sambil berjalan mendekat. Aku Lie Kun Liong kebetulan berada di kuburan di sebelah sana dan mendengar tiupan seruling saudara.

“Ah, tidak apa-apa “ kata si pemuda baju putih. Aku juga kebetulan lewat dan tertarik dengan suasana pemandangan di sini sehingga timbul keinginan untuk meniup seruling. Nama aku Liok Han Ki. Saudara penduduk di sekitar sini ?

“Di sini kampung halaman aku dan baru hari ini kembali ke sini untuk menyambangi kuburan orang tua aku “ kata Lie Kun Liong. Karena Liok-heng baru pertama kali ke sini sebaiknya Liok-heng bermalam di penginapan dekat tengah kota. Penginapan di sana cukup bersih dan ada restorannya sehingga tidak perlu keluar dari penginapan untuk mencari makan.

Kalau Liok-heng suka minum arak, tidak boleh melewatkan arak buatan kedai arak “Wei An” yang terletak di sudut kota ini.
“Terima kasih atas petunjuk Lie-heng, aku sebenarnya tidak biasa minum arak tapi untuk secangkir dua cangkir bolehlah, apalagi kata-kata Lie-heng tentang arak buatan kedai “We An” menarik minat aku untuk mencobanya” kata Liok Han Ki.

Sesampainya di kedai arak mereka langsung memesan dua poci arak Huangciu dan makanan sekedarnya.

“Memang enak dan harum arak ini, sudah lama aku tidak mersakan arak seharum ini” kata Liok Han Ki sambil menuang kembali seloki arak. Maaf, kalau aku lihat Lie-heng pasti memiliki ilmu silat yang tinggi. Kalau boleh tahu siapa guru dan dari aliran mana perguruan Lie-heng ? tanya Liok Han Ki.

“Ah cuma untuk sekedar jaga diri saja Liok-heng, aku belajar dari guru silat biasa dan bukan dari aliran perguruan terkenal” sahut Lie Kun Liong mengelak. Malah ilmu silat Liok-heng pasti lihai sekali sambil menatap sarung pedang yang di sandang Liok Han Ki.

Sambil tersenyum Liok Han Ki berkata, “Lie-heng terlalu merendahkan diri, melihat sinar mata Lie-heng yang tajam aku rasa tidak sembarang jago silat dapat mengalahkan Li-heng”.

“Oh ya, Liok-heng hendak menuju kemana ?” kata Lie Kun Liong mengalihkan perhatian.

“Sejak keluar dari perguruan aku ingin sekali berkunjung ke kota raja. Sudah lama aku dengar kemegahan Nanking yang terkenal dengan masakannya yang enak-enak dari restoran-restoran terkenal, istana raja, serta taman danu kerajaan yang indah” kata Liok Han Ki. Kalau Lie-heng mau kemana ?

“Aku mau mengunjungi Butong-san (gunung Butong), aku dengar Butong-san terkenal akan keindahan pemandangannya, di samping itu juga ingin sekedar melihat kemegahan partai Butong, syukur bila bisa berkenalan dengan para pendekar dari Butong” kata Lie Kun Liong.

“Kalau begitu arah perjalanan kita sama. Kebetulan aku juga belum pernah mengunjungi Butong-san, kalau Lie-heng tidak keberatan, aku ingin mengadakan perjalanan bersama Lie-heng pergi ke Butong-san” Liok Han Ki dengan bersemangat.

“Bagaimana dengan keinginan Liok-heng mengunjungi kota raja” tanya Lie Kun Liong ragu-ragu karena ia sebenarnya ingin pergi sendiri ke Butong untuk menyelidiki kematian orang tuanya yang gelagatnya berkaitan erat dengan Butong. Ia tidak ingin melibatkan kawan barunya ini dalam persoalan pribadinya.

“Kunjungan ke Nanking bisa aku tunda dulu setelah menemani Liok-heng ke Butong-san” kata Liok Han Ki dengan pasti. Lagi pula sebelum ke Nanking harus melewati Butong-san dulu.

Nantikan berikutnya di : Pendekar cinta Jilid 3

0 komentar:

Dí lo que piensas...