Kamis, 07 Agustus 2014

Pendekar Cinta - Jilid 6

Jilid 6. Si Pedang Kilat

Suatu ketika ia sampai di daerah pegunungan di pinggir tanah cekung wilayah Sichuan dengan hamparan tanaman teh seperti karpet tebal berwarna hijau. Semilir udara segar pegunungan berhembus pelan hingga daun-daun teh bergoyang seirama. Siang itu, terik matahari sepertinya malu-malu membakar bumi karena terhalang awan dan pepohonan. Rasa lelah dan penat karena seharian menunggang kuda sepertinya tak terasa. Badan menjadi segar dan pikiran pun terasa lapang.
Di kebun teh itu tampak para wanita pemetik teh yang rajin sedang sibuk memetik daun teh sambil menyanyikan lagu memetik daun teh, lagu yang mereka nyanyikan turun temurun. Kesemua itu membentuk gambaran kehidupan petani yang indah di Sichuan bagian barat.

Terlihat serombongan anak-anak dengan baju berwarna-warni menari, berkejaran menikmati suasana panen teh dengan mengejar kupu-kupu. Menurut legenda, seorang petani obat pada jaman Dinasti Han Barat, Wu Lizhen yang pertama kali menanam pohon teh di gunung ini, ia menanam 7 batang pohon itu di gunung tersebut. Konon ketujuh pohon teh itu masih tetap subur meski telah berusia ribuan tahun, dan setiap tahun tumbuh daun teh muda yang sempit dan panjang serta sangat sedap rasanya. Ketujuh pohon teh itu oleh masyarakat setempat dinamakan Teh Dewata.

Di sebelah kiri kebun teh itu terdapat sebuah warung teh bagi para pelancong yang ingin menikmati secangkir teh segar. Sambil menunggang kudanya perlahan-lahan Lie Kun Liong menyusuri pegunungan itu melalui jalan tanjakan berbatu menuju warung teh itu. Sambil menunggu teh yang di pesan datang, ia menyaksikan pemilik warung yang sibuk mengolah daun teh. Dengan cara yang sangat tradisional, si pemilik warung menggoreng daun teh di wajan dengan tangan, daun teh yang hijau dengan cepat berubah menjadi kuning muda dan menyebarkan harum yang sedap dan segar.

Di sekitar warung teh terdapat belasan pohon ginko kuno yang tumbuh subur. Duduk di kursi bambu, mereguk minuman teh yang sedap dan segar di bawah pohon sambil melepas pandang ke gunung yang jauh, Lie Kun Liong bisa merasakan ketenangan yang syahdu. Selagi menikmati teh dalam suasana alam yang indah dan tenang, kupingnya yang tajam mendengar suara denting beradunya pedang di kejauhan. Pada mulanya ia malas untuk mencampuri pertikaian dunia persilatan namun dari bunyi beradunya pedang tersebut ia dapat membedakan pihak yang sedang bertempur merupakan jago-jago kosen. Tertarik hatinya untuk melihat jalannya pertempuran itu, segera ia mengembangkan ginkangnya ke arah suara tadi.

Ternyata di belakang perkebunan teh itu terdapat terdapat hutan bambu. Semilir angin yang menerabas pepohonan bambu di sekitarnya mengalirkan keteduhan. Di bawah rindangnya pepohonan bambu, seorang pemuda sedang bertanding dengan seru melawan seorang nenek tua berusia enam puluh tahunan. Walupun kelihatannya lemah dan tua tapi gerakan si nenek sangat lincah tidak kalah lihainya dengan si anak muda.

Pedang di tangan pemuda itu berkelabat bagaikan kilat menyambar ke sana kemari mengincar tubuh tua si nenek. Pemuda itu berusia sebaya dengannya, wajahnya cukup tampan dan sedikit jumawa, pakaian yang dikenakannya terbuat dari bahan berkualitas berwana hijau muda. Gerak-geriknya sangat sebat dan menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi. Gerakan ilmu pedang pemuda ini sangat mengandalkan kecepatan dan ketajaman bilah pedang. Gaya pedang yang dimainkannya sangat tidak mengenal ampun, semua serangan dilakukan dengan sepenuh hati seolah-olah ia menyerahkan seluruh jiwanya ke dalam pedang, sangat mengiriskan hati. Selama berkelana di dunia persilatan beberapa bulan ini, pemuda inilah yang menurut hasil pengamatannya memiliki ilmu pedang yang tidak kalah dengan ilmu pedangnya.

Lie Kun Liong tidak yakin apakah ia sanggup mengalahkan ilmu pedang si pemuda itu dengan ilmu pedang perguruannya. Entah persoalan apa yang terjadi diantara mereka hingga melangsungkan pertempuran mati hidup di hutan bambu ini pikir Lie Kun Liong. Ia tidak berani mencampuri sebelum jelas duduk persoalannya walaupun ia bersimpati kepada si nenek tua yang terus bertahan dengan gigih terhadap setiap serangan si pemuda itu. Sambil bersembunyi di balik rerimbunan pohon bambu ia mengamati jalannya pertandingan dengan serius untuk menambah pengetahuannya. Dengan sekilas saja ia sudah mampu mengingat setiap gerakan-gerakan yang hebat dari kedua orang tersebut, memang gurunya sering memujinya memiliki bakat dan ingatan yang sangat baik.
Setelah beberapa puluh jurus kemudian terlihat si nenek mulai agak keteteran tapi ia tetap bertahan sekuatnya. Ilmu si nenek sebenarnya sangat lihai, terbukti ia mampu melayani si pemuda ini tanpa terdesak. Kelemahan si nenek adalah usianya, keuletannya kalah sama yang muda. Yang satu sedang dalam kondisi puncak kemudaannya sedangkan yang lain sedang dalam kondisi menurun di usia tua. Kedua orang itu sudah mengucurkan keringat di dahi masing-masing, tanda-tanda kelelahan tampak di wajah keduanya. Siapapun yang menang pasti tidak mudah diperoleh dan memerlukan pengorbanan tenaga yang banyak. Naga-naganya tidak berapa lama lagi menang kalah dapat segera di tentukan.
Lie Kun Liong merasa serba salah, ia kasihan sama si nenek tapi ia belum tahu masalah yang terjadi, takut terjadi kesalahpahaman.

Akhirnya ia memutuskan untuk menampakkan diri sambil berharap dengan kedatangannya kedua orang ini berhenti berkelahi hingga ia bisa menanyakan duduk persoalan sebenarnya.
Harapan tinggal harapan, mereka yang sedang bertempur tidak berhenti sekalipun mereka tahu kedatangan Lie Kun Liong bahkan jurus-jurus yang dimainkan semakin ganas.

Suatu ketika ujung pedang si pemuda berhasil menuai sukses mendekati tubuh lawan serta memecah hawa chi si nenek mengakibatkan lobang darah di bagian pundak si nenek. Dengan cepat darah mengucur keluar dan gerakan si nenek yang lincah mulai berkurang terpengaruh oleh lukanya. Si pemuda tidak melewatkan waktu sedetikpun, ia terus melancarkan rangkaian serangan mematikan.

Sadar akan bahaya yang dihadapinya, si nenek mengeluarkan segenap kemampuan yang tersisa mendesak mundur si pemuda beberapa langkah sambil melemparkan am gie (senjata rahasia) berbentuk bintang segi lima yang sangat tajam dan terbuat dari logam. Selagi pemuda itu sibuk menangkis senjata rahasia, si nenek melompat mundur dan melarikan diri ke arah Lie Kun Liong sambil berteriak “Anak Kin, serang pemuda itu” dan menghilang di balik hutan bambu.
Lie Kun Liong melongo memandang belakang tubuh si nenek, mendengar kata-kata nenek itu ia tidak mengerti. Namun belum sempat ia berbalik, terdengar siur sambaran pedang sudah berada dekat punggungnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ia miliki, ia berhasil menghindarkan diri dari serangan itu. Ternyata ia diserang oleh si pemuda yang menyangka Lie Kun Liong sebagai murid atau cucu si nenek.

“Eh nanti dulu looheng” kata Lie Kun Liong sambil sibuk menghindarkan diri dari serangan ganas si pemuda. “Aku bukan siapa-siapa nenek itu” kata Lie Kun Liong buru-buru.
Tapi si pemuda itu tidak mau mendengarkan kata-kata Lie Kun Liong sedikitpun, ia terus membombardir Lie Kun Liong dengan jurus-jurus mematikan. Terpaksa Lie Kun Liong menghadapi si pemuda dengan penuh perhatian sebab kalau lengah sedikit, tubuhnya akan bolong tertembus ujung pedang si pemuda.

Lie Kun Liong mengumpat dalam hati akan kesembronoan si pemuda itu, dengan susah payah ia melayani si pemuda dengan tangan kosong. Tiada kesempatan baginya untuk mencabut pedang yang berada di punggungnya. Untungnya ia sudah sempat sedikit menyelami gaya ilmu pedang si pemuda tadi hingga sedikit banyak ia masih bisa mengelak ke sana ke mari, lalu sambil melancarkan pukulan yang disertai hawa lwekang, ia mencabut pedangnya untuk mempertahankan diri lebih sempurna.
Awalnya ia hanya mencoba mempertahankan diri sambil mencari kesempatan untuk berbicara menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi namun serangan-serangan si pemuda sangat ganas dan mematikan hingga ia sebagai pemuda yang masih berdarah panas menjadi marah dan mulai membalas serangan si pemuda itu.

Terjadilah pertarungan yang jarang terjadi di dunia persilatan antara dua jago pedang yang sama-sama masih muda dan bersemangat. Bagi keduanya ternyata pertarungan ini merupakan pertarungan yang paling sengit yang pernah mereka hadapi selama berkecimpung di dunia kangouw. Pedang yang mereka miliki sama-sama pedang pusaka dan sudah menyatu dengan jiwa raga mereka. Saling serangpun berlangsung dengan seru, masing-masing pihak mengeluarkan seantero kemampuannya untuk mengalahkan lawan.

Kalau gerakan pedang si pemuda itu secepat kilat, gerakan pedang Lie Kun Liong tidak kalah mantapnya. Kecepatan di hadapi dengan kemantapan. Sayang tidak ada yang menyaksikan pertarungan kelas wahid ini. Suatu saat keduanya melancarkan serangan pedang yang mengakibatkan bentrokan yang sangat keras sehingga pedang di tangan mereka masing-masin terlontar ke atas terlepas dari pegangan masing-masing. Dari situ dapat diketahui keduanya memiliki lwekang yang setingkat.

Sebenarnya kalau mau selagi pedangnya terlontar ke udara, Lie Kun Liong bisa mengendalikan pedang dan untuk digunakan menyerang kembali si pemuda yang telah kehilangan pedangnya dengan ilmu pedang terbang. Tapi ia masih sadar ini kesempatan baik untuk menjelaskan salah paham ini.

“Harap dengarkan kata-kata aku loheng, aku tidak mengenal nenek itu sama sekali, aku hanya kebetulan lewat di sini” kata Lie Kun Liong buru-buru takut si pemuda ia masih gelap mata dan menyerangnya membabi buta.Pemuda itu tertegun sebentar, lalu menyadari bahwa murid ataupun cucu si nenek itu tidak mungkin memiliki ilmu pedang yang selihai ini bahkan lebih lihai dari si nenek.
“Tapi aku dengar sendiri Hui Thian Mo Lie (Hantu permpuan terbang ke langit) itu menyebutmu anak Kin” kata pemuda itu ragu-ragu.
“Aku juga tidak mengerti mengapa nenek itu memanggil aku begitu, mungkin dalam keadaan terdesak ia mau melemparkan beban ke aku untuk meloloskan diri” kata Lie Kun Liong penasaran.
“Rasanya memang itu tujuannya, untung engkau menjelaskan kalau tidak aku bisa salah membunuh orang tak bersalah” kata si pemuda seolah-olah yakin sekali Lie Kun Liong pasti akan kalah bila pertandingan diteruskan.

Sambil tersenyum tawar Lie Kun Liong bertanya “Ada sengketa apa antara loheng dengan nenek itu” Ia sedikit tidak suka akan kejumawaan si pemuda itu.
“Hui Thian Mo Lie itu adalah pembunuh keluarga misan aku, sudah lama aku memburunya dan tempat ini akhirnya bisa menyandaknya. Sayang ia lolos kali ini tapi lain kali jangan harap dia seberuntung ini” kata pemuda itu dengan lagak sombongnya.
“Maaf kalau kemunculan aku tadi menganggu rencana balas dendam loheng” kata Lie Kun Liong
“Tidak apa-apa, bukan salah loheng. Oh ya aku Bai Mu An, siapa nama loheng” tanya pemuda yang bernama Bai Mu An itu.
“Rupanya Bai-heng yang terkenal dengan julukan si Pedang Kilat” kata Lie Kun Liong kaget.
“Tidak berani, teman-teman persilatan yang memberi julukan itu” kata Bai Mu An, namun tidak mampu menyembunyikan rasa bangga diwajahnya.
“Nama aku Lie Kun Liong, kebetulan sedang berkelana di sekitar sini” kata Lie Kun Liong diam-diam tertawa dalam hati melihat kejumawaan Bai Mu An.
“Lie-heng hendak kemana” tanya Bai Mu An.
“Aku mau pergi ke Nanking, sudah lama dengar akan kemegahan kota raja” jawab Lie Kun Liong.

Sebenarnya ia berharap dapat berjumpa dengan Liok Han Ki di sana karena ia ingat akan pembicaraan mereka dulu. Entah mengapa sejak ia secara tidak sengaja membuka penyamaran Liok Han Ki yang ternyata adalah seorang dara bahkan melihat buah dada seorang gadis perawan untuk pertamakalinya, wajah Liok Han Ki selalu terbayang-bayang dalam benaknya.
“Kebetulan aku juga hendak ke kota raja mencari teman” kata Bai Mu An. “Bagaimana kalau kita berdua berjalan bersama?” tanya Bai Mu An. Ia merasa cocok dengan Lie Kun Liong yang rendah hati.
“Boleh, kebetulan aku sendirian. Ditemani Bai-heng yang berpengalaman membuat aku senang” jawab Lie Kun Liong.

Nantikan selanjutnya di Pendekar Cinta - Jilid 7

0 komentar:

Dí lo que piensas...