Jilid 6. Si Pedang Kilat
Suatu ketika ia sampai di daerah pegunungan di pinggir tanah cekung
wilayah Sichuan dengan hamparan tanaman teh seperti karpet tebal
berwarna hijau. Semilir udara segar pegunungan berhembus pelan hingga
daun-daun teh bergoyang seirama. Siang itu, terik matahari sepertinya
malu-malu membakar bumi karena terhalang awan dan pepohonan. Rasa lelah
dan penat karena seharian menunggang kuda sepertinya tak terasa. Badan
menjadi segar dan pikiran pun terasa lapang.
Di kebun teh itu tampak para wanita pemetik teh yang rajin sedang sibuk
memetik daun teh sambil menyanyikan lagu memetik daun teh, lagu yang
mereka nyanyikan turun temurun. Kesemua itu membentuk gambaran kehidupan
petani yang indah di Sichuan bagian barat.
Terlihat serombongan anak-anak dengan baju berwarna-warni menari,
berkejaran menikmati suasana panen teh dengan mengejar kupu-kupu.
Menurut legenda, seorang petani obat pada jaman Dinasti Han Barat, Wu
Lizhen yang pertama kali menanam pohon teh di gunung ini, ia menanam 7
batang pohon itu di gunung tersebut. Konon ketujuh pohon teh itu masih
tetap subur meski telah berusia ribuan tahun, dan setiap tahun tumbuh
daun teh muda yang sempit dan panjang serta sangat sedap rasanya.
Ketujuh pohon teh itu oleh masyarakat setempat dinamakan Teh Dewata.
Di sebelah kiri kebun teh itu terdapat sebuah warung teh bagi para
pelancong yang ingin menikmati secangkir teh segar. Sambil menunggang
kudanya perlahan-lahan Lie Kun Liong menyusuri pegunungan itu melalui
jalan tanjakan berbatu menuju warung teh itu. Sambil menunggu teh yang
di pesan datang, ia menyaksikan pemilik warung yang sibuk mengolah daun
teh. Dengan cara yang sangat tradisional, si pemilik warung menggoreng
daun teh di wajan dengan tangan, daun teh yang hijau dengan cepat
berubah menjadi kuning muda dan menyebarkan harum yang sedap dan segar.
Di sekitar warung teh terdapat belasan pohon ginko kuno yang tumbuh
subur. Duduk di kursi bambu, mereguk minuman teh yang sedap dan segar di
bawah pohon sambil melepas pandang ke gunung yang jauh, Lie Kun Liong
bisa merasakan ketenangan yang syahdu. Selagi menikmati teh dalam
suasana alam yang indah dan tenang, kupingnya yang tajam mendengar suara
denting beradunya pedang di kejauhan. Pada mulanya ia malas untuk
mencampuri pertikaian dunia persilatan namun dari bunyi beradunya pedang
tersebut ia dapat membedakan pihak yang sedang bertempur merupakan
jago-jago kosen. Tertarik hatinya untuk melihat jalannya pertempuran
itu, segera ia mengembangkan ginkangnya ke arah suara tadi.
Ternyata di belakang perkebunan teh itu terdapat terdapat hutan bambu.
Semilir angin yang menerabas pepohonan bambu di sekitarnya mengalirkan
keteduhan. Di bawah rindangnya pepohonan bambu, seorang pemuda sedang
bertanding dengan seru melawan seorang nenek tua berusia enam puluh
tahunan. Walupun kelihatannya lemah dan tua tapi gerakan si nenek sangat
lincah tidak kalah lihainya dengan si anak muda.
Pedang di tangan pemuda itu berkelabat bagaikan kilat menyambar ke sana
kemari mengincar tubuh tua si nenek. Pemuda itu berusia sebaya
dengannya, wajahnya cukup tampan dan sedikit jumawa, pakaian yang
dikenakannya terbuat dari bahan berkualitas berwana hijau muda.
Gerak-geriknya sangat sebat dan menguasai ilmu pedang yang sangat
tinggi. Gerakan ilmu pedang pemuda ini sangat mengandalkan kecepatan dan
ketajaman bilah pedang. Gaya pedang yang dimainkannya sangat tidak
mengenal ampun, semua serangan dilakukan dengan sepenuh hati seolah-olah
ia menyerahkan seluruh jiwanya ke dalam pedang, sangat mengiriskan
hati. Selama berkelana di dunia persilatan beberapa bulan ini, pemuda
inilah yang menurut hasil pengamatannya memiliki ilmu pedang yang tidak
kalah dengan ilmu pedangnya.
Lie Kun Liong tidak yakin apakah ia sanggup mengalahkan ilmu pedang si
pemuda itu dengan ilmu pedang perguruannya. Entah persoalan apa yang
terjadi diantara mereka hingga melangsungkan pertempuran mati hidup di
hutan bambu ini pikir Lie Kun Liong. Ia tidak berani mencampuri sebelum
jelas duduk persoalannya walaupun ia bersimpati kepada si nenek tua yang
terus bertahan dengan gigih terhadap setiap serangan si pemuda itu.
Sambil bersembunyi di balik rerimbunan pohon bambu ia mengamati jalannya
pertandingan dengan serius untuk menambah pengetahuannya. Dengan
sekilas saja ia sudah mampu mengingat setiap gerakan-gerakan yang hebat
dari kedua orang tersebut, memang gurunya sering memujinya memiliki
bakat dan ingatan yang sangat baik.
Setelah beberapa puluh jurus kemudian terlihat si nenek mulai agak
keteteran tapi ia tetap bertahan sekuatnya. Ilmu si nenek sebenarnya
sangat lihai, terbukti ia mampu melayani si pemuda ini tanpa terdesak.
Kelemahan si nenek adalah usianya, keuletannya kalah sama yang muda.
Yang satu sedang dalam kondisi puncak kemudaannya sedangkan yang lain
sedang dalam kondisi menurun di usia tua. Kedua orang itu sudah
mengucurkan keringat di dahi masing-masing, tanda-tanda kelelahan tampak
di wajah keduanya. Siapapun yang menang pasti tidak mudah diperoleh dan
memerlukan pengorbanan tenaga yang banyak. Naga-naganya tidak berapa
lama lagi menang kalah dapat segera di tentukan.
Lie Kun Liong merasa serba salah, ia kasihan sama si nenek tapi ia belum
tahu masalah yang terjadi, takut terjadi kesalahpahaman.
Akhirnya ia memutuskan untuk menampakkan diri sambil berharap dengan
kedatangannya kedua orang ini berhenti berkelahi hingga ia bisa
menanyakan duduk persoalan sebenarnya.
Harapan tinggal harapan, mereka yang sedang bertempur tidak berhenti
sekalipun mereka tahu kedatangan Lie Kun Liong bahkan jurus-jurus yang
dimainkan semakin ganas.
Suatu ketika ujung pedang si pemuda berhasil menuai sukses mendekati
tubuh lawan serta memecah hawa chi si nenek mengakibatkan lobang darah
di bagian pundak si nenek. Dengan cepat darah mengucur keluar dan
gerakan si nenek yang lincah mulai berkurang terpengaruh oleh lukanya.
Si pemuda tidak melewatkan waktu sedetikpun, ia terus melancarkan
rangkaian serangan mematikan.
Sadar akan bahaya yang dihadapinya, si nenek mengeluarkan segenap
kemampuan yang tersisa mendesak mundur si pemuda beberapa langkah sambil
melemparkan am gie (senjata rahasia) berbentuk bintang segi lima yang
sangat tajam dan terbuat dari logam. Selagi pemuda itu sibuk menangkis
senjata rahasia, si nenek melompat mundur dan melarikan diri ke arah Lie
Kun Liong sambil berteriak “Anak Kin, serang pemuda itu” dan menghilang
di balik hutan bambu.
Lie Kun Liong melongo memandang belakang tubuh si nenek, mendengar
kata-kata nenek itu ia tidak mengerti. Namun belum sempat ia berbalik,
terdengar siur sambaran pedang sudah berada dekat punggungnya. Dengan
mengerahkan segenap kemampuan yang ia miliki, ia berhasil menghindarkan
diri dari serangan itu. Ternyata ia diserang oleh si pemuda yang
menyangka Lie Kun Liong sebagai murid atau cucu si nenek.
“Eh nanti dulu looheng” kata Lie Kun Liong sambil sibuk menghindarkan
diri dari serangan ganas si pemuda. “Aku bukan siapa-siapa nenek itu”
kata Lie Kun Liong buru-buru.
Tapi si pemuda itu tidak mau mendengarkan kata-kata Lie Kun Liong
sedikitpun, ia terus membombardir Lie Kun Liong dengan jurus-jurus
mematikan. Terpaksa Lie Kun Liong menghadapi si pemuda dengan penuh
perhatian sebab kalau lengah sedikit, tubuhnya akan bolong tertembus
ujung pedang si pemuda.
Lie Kun Liong mengumpat dalam hati akan kesembronoan si pemuda itu,
dengan susah payah ia melayani si pemuda dengan tangan kosong. Tiada
kesempatan baginya untuk mencabut pedang yang berada di punggungnya.
Untungnya ia sudah sempat sedikit menyelami gaya ilmu pedang si pemuda
tadi hingga sedikit banyak ia masih bisa mengelak ke sana ke mari, lalu
sambil melancarkan pukulan yang disertai hawa lwekang, ia mencabut
pedangnya untuk mempertahankan diri lebih sempurna.
Awalnya ia hanya mencoba mempertahankan diri sambil mencari kesempatan
untuk berbicara menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi namun
serangan-serangan si pemuda sangat ganas dan mematikan hingga ia sebagai
pemuda yang masih berdarah panas menjadi marah dan mulai membalas
serangan si pemuda itu.
Terjadilah pertarungan yang jarang terjadi di dunia persilatan antara
dua jago pedang yang sama-sama masih muda dan bersemangat. Bagi keduanya
ternyata pertarungan ini merupakan pertarungan yang paling sengit yang
pernah mereka hadapi selama berkecimpung di dunia kangouw. Pedang yang
mereka miliki sama-sama pedang pusaka dan sudah menyatu dengan jiwa raga
mereka. Saling serangpun berlangsung dengan seru, masing-masing pihak
mengeluarkan seantero kemampuannya untuk mengalahkan lawan.
Kalau gerakan pedang si pemuda itu secepat kilat, gerakan pedang Lie Kun
Liong tidak kalah mantapnya. Kecepatan di hadapi dengan kemantapan.
Sayang tidak ada yang menyaksikan pertarungan kelas wahid ini. Suatu
saat keduanya melancarkan serangan pedang yang mengakibatkan bentrokan
yang sangat keras sehingga pedang di tangan mereka masing-masin
terlontar ke atas terlepas dari pegangan masing-masing. Dari situ dapat
diketahui keduanya memiliki lwekang yang setingkat.
Sebenarnya kalau mau selagi pedangnya terlontar ke udara, Lie Kun Liong
bisa mengendalikan pedang dan untuk digunakan menyerang kembali si
pemuda yang telah kehilangan pedangnya dengan ilmu pedang terbang. Tapi
ia masih sadar ini kesempatan baik untuk menjelaskan salah paham ini.
“Harap dengarkan kata-kata aku loheng, aku tidak mengenal nenek itu sama
sekali, aku hanya kebetulan lewat di sini” kata Lie Kun Liong buru-buru
takut si pemuda ia masih gelap mata dan menyerangnya membabi
buta.Pemuda itu tertegun sebentar, lalu menyadari bahwa murid ataupun
cucu si nenek itu tidak mungkin memiliki ilmu pedang yang selihai ini
bahkan lebih lihai dari si nenek.
“Tapi aku dengar sendiri Hui Thian Mo Lie (Hantu permpuan terbang ke langit) itu menyebutmu anak Kin” kata pemuda itu ragu-ragu.
“Aku juga tidak mengerti mengapa nenek itu memanggil aku begitu, mungkin
dalam keadaan terdesak ia mau melemparkan beban ke aku untuk meloloskan
diri” kata Lie Kun Liong penasaran.
“Rasanya memang itu tujuannya, untung engkau menjelaskan kalau tidak aku
bisa salah membunuh orang tak bersalah” kata si pemuda seolah-olah
yakin sekali Lie Kun Liong pasti akan kalah bila pertandingan
diteruskan.
Sambil tersenyum tawar Lie Kun Liong bertanya “Ada sengketa apa antara
loheng dengan nenek itu” Ia sedikit tidak suka akan kejumawaan si pemuda
itu.
“Hui Thian Mo Lie itu adalah pembunuh keluarga misan aku, sudah lama aku
memburunya dan tempat ini akhirnya bisa menyandaknya. Sayang ia lolos
kali ini tapi lain kali jangan harap dia seberuntung ini” kata pemuda
itu dengan lagak sombongnya.
“Maaf kalau kemunculan aku tadi menganggu rencana balas dendam loheng” kata Lie Kun Liong
“Tidak apa-apa, bukan salah loheng. Oh ya aku Bai Mu An, siapa nama loheng” tanya pemuda yang bernama Bai Mu An itu.
“Rupanya Bai-heng yang terkenal dengan julukan si Pedang Kilat” kata Lie Kun Liong kaget.
“Tidak berani, teman-teman persilatan yang memberi julukan itu” kata Bai
Mu An, namun tidak mampu menyembunyikan rasa bangga diwajahnya.
“Nama aku Lie Kun Liong, kebetulan sedang berkelana di sekitar sini”
kata Lie Kun Liong diam-diam tertawa dalam hati melihat kejumawaan Bai
Mu An.
“Lie-heng hendak kemana” tanya Bai Mu An.
“Aku mau pergi ke Nanking, sudah lama dengar akan kemegahan kota raja” jawab Lie Kun Liong.
Sebenarnya ia berharap dapat berjumpa dengan Liok Han Ki di sana karena
ia ingat akan pembicaraan mereka dulu. Entah mengapa sejak ia secara
tidak sengaja membuka penyamaran Liok Han Ki yang ternyata adalah
seorang dara bahkan melihat buah dada seorang gadis perawan untuk
pertamakalinya, wajah Liok Han Ki selalu terbayang-bayang dalam
benaknya.
“Kebetulan aku juga hendak ke kota raja mencari teman” kata Bai Mu An.
“Bagaimana kalau kita berdua berjalan bersama?” tanya Bai Mu An. Ia
merasa cocok dengan Lie Kun Liong yang rendah hati.
“Boleh, kebetulan aku sendirian. Ditemani Bai-heng yang berpengalaman membuat aku senang” jawab Lie Kun Liong.
Nantikan selanjutnya di Pendekar Cinta - Jilid 7
Kamis, 07 Agustus 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Dí lo que piensas...