Kamis, 07 Agustus 2014

Pendekar Cinta - Jilid 5

Jilid 5. Musibah di Sungai Yangtze

Suatu pagi mereka tiba di perkampungan nelayan di tepi sungai Yangtze. Sungai Yangtze adalah sungai terpanjang di antara 7 sungai besar lainnya di Tiongkok. Di bagian tengah dan hulu sungai terdapat tiga buah ngarai yang sangat panjang dan merupakan daerah pemandangan yang sangat terkenal keindahannya bagi para pelancong.

“Lie-heng bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan dengan menyewa perahu sehingga bisa menghemat waktu dan lebih santai” tanya Liok Han Ki.

“Boleh juga, aku memang belum pernah berkelana menyusuri sungai” sahut Lie Kun Liong.
Mereka lalu mencari tukang perahu yang mau menyewakan perahunya. Umumnya tukang perahu menolak membawa mereka karena tujuannya terlalu jauh. Beruntung seorang kakek tua bersedia membawa mereka dengan perahunya.

Sepanjang perjalanan dengan gembira Liok Han Ki melantunkan syair penyair terkenal Li Pai…

K'la pamitan Baidi dililiti awan lembayung pagi
Ribuan li menuju Jiangling ditempuh dalam sehari
Sepanjang tepi belum terputus pekikan suara lutung
Biduk ringan sudah melaju melewati gunung gemunung .

Lie Kun Liong bertepuk tangan memuji suara merdu Liok Han Ki dan berkata “Liok-heng sayir yang engkau lantunkan sangat cocok dengan keadaan kita sekarang, ternyata di samping pandai meniup seruling, Liok-heng juga pandai berpantun ria”
Sambil tertawa Liok Han Ki berkata “Jangan bergurau Lie-heng, aku juga tahu Lie-heng juga pasti pandai ilmu surat. Bagaimana kalau Lie-heng menyumbangkan sebuah syair buat aku dengar”
“Baiklah tapi jangan ditertawakan, pengetahuan aku masih kalah jauh sama Liok-heng” kata Lie Kun Liong. Ia melantunkan syair buatan penyair Shi Jing…

Pohon persik muda mekar
Bunganya indah mekar menyala
Anak dara jadi menantu
Keluarga baru rukun bahagia

Pohon persik muda mekar
Buahnya ranum padat berlimpah
Anak dara jadi menantu
Rumah tangga rukun bahagia

Pohon persik muda mekar
Daunnya subur hijau raya-raya
Anak dara jadi menantu
Sanak keluarga ikut bahagia

Liok Han Ki bertepuk tangan dengan semangat dan berkata “Wah Lie-heng rupanya sangat pandai dan memiliki pengetahuan yang dalam akan ilmu kesusasteraan, kagum..kagum..”

“Engkau bisa saja Liok-heng” sahut Liok Kun Liong malu. Syair ini sebenarnya aku sering dengar dari sahabat aku sehingga cukup apal, tapi kalau di suruh melantunkan syair yang lain aku menyerah.

“Kalau boleh tahu siapa sahabat Lie-heng itu, aku jadi ingin berkenalan” kata Liok Han Ki ingin tahu.

“Namanya Cin Cin dan teman aku sejak kecil” kata Lie Kun Liong.

“Jangan-jangan dia pujaan hati Lie-heng” kata Liok Han Ki bergurau namun wajahnya sedikit berubah tapi Lie Kun Liong memperhatikannya.

“Cin Cin aku anggap sebagai adik sendiri, Liok-heng” kata Lie Kun Liong.

Liok Han Ki tidak mendesak lagi walaupun ia sangat penasaran akan latar belakang Lie Kun Liong karena ia mempunyai kesulitan sendiri mengungkapkan jati dirinya.

Selama beberapa hari ke depan mereka dengan aman menyusuri sungai Yangtze. Bila merasa bosan dengan bekal yang mereka bawa, mereka menyuruh si kakek tukang perahu untuk menepi sebentar di kota terdekat dan memasuki restoran yang paling besar serta memesan masakan yang enak. Setelah puas mereka kembali ke perahu dan melanjutkan perjalanan. Untuk urusan tidur tidak mereka persoalkan karena perahu itu cukup besar cukup untuk beristirahat buat mereka bertiga.

Suatu hari perahu mereka sedang melaju perlahan-lahan menyusuri sungai, disebelah kanan-kiri sungai tampak pepohonan yang lebat dan rimbun.

“Jiwi berdua kita harus hati-hati di sini biasanya banyak begal air beraksi karena jauh dari kota ata perkampungan terdekat. Tapi setahu lohu setahun yang lalu sudah diobrak-abrik oleh seorang pendekar, namun siapa tahu masih ada sisa-sisa kawanan begal” kata kakek tukang perahu sambil menengahkan dan mempercepat luncuran perahunya.

“Jangan khawatir lopek, kita akan hancurkan mereka bila masih berani menganggu perahu yang lewat” kata Liok Han Ki. Memangnya siapa pendekar yang sudah menghancurkan markas mereka tanyanya ingin tahu.

“Menurut yang lohu dengar pendekar itu sedang menyusuri daerah sungai ini dengan perahunya seorang diri, tiba-tiba di serang kawan begal air namun ternyata pendekar itu lihai sekali, seorang diri ia mengalahkan puluhan begal air di atas perahunya. Orang bilang pendekar itu masih muda dan julukannya adalah Si Pedang Kilat.
“Oh dia” kata Liok Han Ki.

“Apa Liok-heng kenal dengan pendekar itu” kata Lie Kun Liong. Ia ingat pernah mendengar julukan Si Pedang Kilat dari penuturan
Cin Cin sebelum ia turun gunung.

“Aku pernah bertemu beberapa kali tapi tidak begitu mengenalnya” kata Liok Han Ki dengan wajah sedikit berubah merah namun tidak kentara oleh Lie Kun Liong.

“Kalau tidak salah aku pernah dengar pendekar muda yang sedang naik daun saat ini adalah Si Pedang Kilat dan Dewi Pedang” kata Lie Kun Liong.
Liok Han Ki diam tidak menanggapi seolah tidak mendengar perkataan Lie Kun Liong.

Tiba-tiba perahu mereka terguncang keras dan terdengar bunyi krak di bawah perahu serta di tepi kiri sungai muncul belasan begal air sambil mendayung perahu mendekati perahu mereka. Ada sekitar 5 perahu, mereka di pimpin seorang pria tinggi besar dengan wajah berewokan.
Ternyata mereka di serang dari dalam dan luar sungai sekaligus.

“Mereka mau menenggelamkan perahu kita” kata Liok Han Ki dengan panik. Lopek segera menepi, biar kita lawan mereka di tepi sungai. Namun sudah terlambat untuk menepikan perahu karena perahu-perahu perompak itu sudah dekat jaraknya.

“Liok-heng bisa berenang?” tanya Lie Kun Liong dengan gugup. Ia yang tinggal di gunung tidak pernah belajar berenang sehingga di serang begini rupa membuatnya rada gugup.

“Tidak bisa, aku dulu pernah belajar berenang tapi tidak diteruskan” sahut Liok Han Ki dengan gugup pula.

“Bagaimana ini” kata kakek tukang perahu sambil tetap mendayung perahunya dengan ketakutan.

“Liok-heng engkau tetap di sini melindungi tukang perahu, aku berjaga-jaga di belakang perahu” kata Lie Kun Liong buru-buru.

Para perompak itu mulai memanah mereka bertiga. Liok Han Ki sibuk menangkis panah-panah yang mengarah ke tubuh si kakek dan ke tubuhnya. Dengan tangkas ia menangkap anak panah-anak panah yang mengarah ketubuhnya lalu dengan lwekangnya ia meluncur balikkan anak panah-anak panah itu ke para perompak. Daya luncur yang sangat kuat tidak dapat di tangkis para perompak itu, beberapa dari mereka tertembus ujung panah dan jatuh ke sungai.
Lie Kun Long membidik para perompak yang berada di permukaan sungai dengan anak panah yang berhasil ia tangkap. Sudah ada beberapa orang berhasil ia bunuh dengan anak panah. Sebagian yang lain dengan cerdik menyelam ke dalam sungai sehingga susah bagi Lie Kun Liong untuk membidiknya.
Perahu yang mereka tumpangi mulai di guncang-guncang oleh para perompak di bawah air dan akhirnya air mulai masuk ke dalam perahu dengan cepat.
Si kakek tukang perahu sadar sebentar lagi perahunya akan karam, lalu ia terjun ke dalam air dan berusaha berenang ke tepi sungai.
“Liok-heng mari kita lompat ke perahu mereka, sebentar lagi perahu ini karam” teriak Lie Kun Liong.

Dengan mengembangkan ginkang, mereka melayang ke perahu para perompak dan hinggap di bagian buritan perahu sambil memutar-mutar pedang mereka menangkis anak panah.

Lie Kun Liong melompat ke arah perahu di mana pemimpin perompak itu berada. Dengan cepat ia melancarkan serangan ke pemimpin perompak itu. Tahu dirinya bukan tandingan Lie Kun Liong, pemimpin perompak itu lalu terjun ke dalam sungai di ikuti anak-buahnya. Dengan selulup di bawah air mereka sekarang berusaha menenggelamkan perahu yang dinaiki Lie Kun Liong dan Liok Han Ki, sedangkan perahu yang lain sudah mereka tenggelamkan untuk berjaga-jaga kedua pemuda itu melompat ke perahu yang lain.
Liok Han Ki berusaha mendayung perahu yang ia naiki ke tepi sungai, namun karena tidak menguasai ilmu dayung perahunya hanya bergerak maju sedikit. Bagian bawah perahunya sekarang sudah kemasukan air sungai, dengan panik ia mencoba mmbuang air yang masuk namun tiba-tiba perahunya terguncang hebat sehingga ia kehilangan kesimbangan dan tejatuh ke dalam sungai.

Sambil menahan nafas ia terus melawan dengan gigih para perompak itu di dalam air. Ada sekitar lima orang perompak mengepungya di dalam air. Ia berhasil menusuk mati dua dari lima orang perompak itu namun salah satu perompak berhasil memegang kakinya dan menyeretnya makin jauh ke bawah sungai.

Saking paniknya ia lupa kehabisan nafas, dengan gelagapan ia meminum air sungai. Makin lama makin banyak air yang ia minum dan akhirnya ia tidak tahu lagi apa yang tejadi.
Di bagian atas sungai Lie Kun Liong juga sedang keras menjaga agar perahu yang ia rebut jangan sampai dilobangi perompak namun tidak berhasil. Air dengan cepat mulai masuk dan membuat oleng perahunya. Tiba-tiba ia mempunyai akal, ia mencabut beberapa lembar papan yang ada di perahu itu dan melemparkannya ke sungai lalu ia melompat ke atas papan yang ia lemparkan tadi. Bagaikan burung bangau ia melayang dan menutulkan kakinya di atas papan itu sebagai tempat pijakan sementara sambil melemparkan papan-papan kayu yang lain menuju ke tepi sungai. Dengan menggunakan papan-papan sebagai batu loncatan ia berhasil mencapai tepi sungai.
Ketika ia melihat ke tengah sungai, ia tidak melihat Liok Han Ki. Dengan gugup ia berlari sepanjang sisi sungai mencari jejak kawannya itu namun Liok Han Ki tidak kelihatan batang hidungnya.
Saat Lie Kun Liong melompat ke tepi sungai, kawanan perompak itu tidak tahu karena mereka berada di bawah air. Dengan bersembunyi di balik pepohonan Lie Kun Liong menunggu kawanan perompak itu keluar dari sungai.

Tidak berapa lama kemudian, seperti yang ia harapkan kawanan perompak itu keluar dari sungai. Jumlah meraka tinggal beberapa orang saja termasuk pemimpin perompak serta Liok Han Ki yang pingsan kebanyakan minum air sungai.

Dengan marah Lie Kun Liong tanpa basa basi keluar dari persembunyiannya dan langsung menyerang para perompak dengan ilmu pedangnya. Jelas mereka bukan tandingan Lie Kun Liong, hanya dalam waktu sekejap mereka terbasmi habis dan hanya tinggal pemimpin perompak itu yang masih bertahan sekuatnya. Tapi akhirnya dengan sabetan pedang yang di lancarkan Lie Kun Liong bagaikan kilat tidak dapat ia hindarkan lagi. Ia tewas dengan tubuh tertembus pedang Lie Kun Liong.
Lie Kun Liong dengan tergesa-gesa menghampiri Liok Han Ki yang terbaring pingsan, mukanya pucat dan perutnya kembung. Ia membalikkan tubuh Liok Han Ki untuk mengeluarkan air dari perut lalu memeriksa nafas Liok Han Ki. Tidak ada nafas, dengan panik ia membuka mulut Liok Han Ki dan menyalurkan nafas buatan dari mulut ke mulut, namun sesudah beberapa kali mencoba tidak berhasil. Rupanya di perut Liok Han Ki masih ada air sungai yang belum seluruhnya keluar.
Tanpa pikir panjang Lie Kun Liong menekan-nekan perut Liok Han Ki untuk mengeluarkan air yang tersisa, lalu menempelkan telinganya di dada Liok Han Ki untuk memeriksa denyut jantungnya. Jantungnya berhenti berdetak, segera ia menekan ke dua tangannya ke dada Liok Han Ki namun terhalang sesuatu yang kenyal, dengan heran ia membuka baju Liok Han Ki dan di depan matanya terpampang dua gumpalan buah dada yang membusung dihiasi puting kecil kemerahan – tampak segar dan ranum bagaikan buah apel segar kemerahan dan manis rasanya.
Payudara yang membusung itu di balut oleh kulit yang putih mulus dan lapat-lapat tercium harum aroma tubuh gadis perawan. Lie Kun Liong terbelialak menatap gundukan buah dada yang ranumdan terawat rapi, ternyata Liok Han Ki adalah seorang dara muda..!.
Selama hidupnya belum pernah ia melihat buah dada seorang gadis perawan. Dengan hati berdebar-debar Lie Kun Liong menutup baju Liok Han Ki dan dengan mengeraskan hati ia meneruskan kedua tangannya menekan dada Liok Han Ki secara berkelanjutan sambil sekali kali meniupkan nafas ke mulut Liok Han Ki.
Tiba-tiba Liok Han Ki tersedak dan nafasnya mulai berjalan kembali. Lie Kun Liong menghentikan usahanya sambil menatap wajah Liok Han Ki yang mulai berubah warnanya dari pucat ke warna kemerahan. Dengan perlahan Liok Han Ki membuka matanya dan melihat wajah Lie Kun Liong yang masih melongo kebingungan berlutut di samping tubuhnya.
Sambil berusaha duduk ia bertanya kepada Lie Kun Liong “Lie-heng, apa yang terjadi, bagaimana dengan perompak-perompak tadi?” Ketika ia sedang berbicara, sekonyong-konyong ia melihat bajunya tersingkap dan akibatnya buah dadanya kembali tersembul keluar sebagian. Dengan menjerit lirih ia merapatkan bajunya sambil menatap tajam Lie Kun Liong dengan kedua bola matanya yang mulai mengeluarkan letupan-letupan kemarahan.
“Ma..aaf caa..hyee tidak sengaja, jantung dan nafas Liok-heng berhenti, terpaksa…” kata Lie Kun Liong dengan terbata-bata tanpa menyelesaikan perkataannya.
Liok Han Ki segera ingat apa yang terjadi, terakhir kali ia berada di bawah sungai sedang bertempur dengan kawanan perompak, ia sadar apa yang dilakukan Lie Kun Liong adalah untuk menolongnya. Namun sebagai seorang gadis ia merasa malu seorang pria telah menyentuh bibir dan melihat buah dadanya yang putih bersih. Sambil terisak ia berlari menjauhi Lie Kun Liong.
Lie Kun Liong diam terpaku menatap kepergian Liok Han Ki. Ia tidak mempunyai tenaga untuk mengejarnya, sudah terlalu banyak kejadian hari ini yang membuat dirinya shock. Dengan tubuh lunglai ia meninggalkan tepi sungai dan melanjutkan perjalanan seorang diri.
Akhirnya ia sampai di kota dan segera mencari penginapan untuk membersihkan badan dan berharap berjumpa Liok Han Ki di situ.
Keesokan harinya ia berkeliling kota mencari Liok Han Ki namun bayangannyapun tak tampak, gelagatnya Liok Han Ki tidak berada di kota ini atau jangan-jangan telah berlalu dari kota ini pikirnya.
Tergesa-gesa ia kembali ke penginapan dan meminta pelayan hotel membelikannya seekor kuda, ia berniat melanjukan perjalanan dengan berkuda supaya lebih cepat.

Selanjutnya di Pendekar Cinta - Jilid 6

0 komentar:

Dí lo que piensas...