Jilid 5. Musibah di Sungai Yangtze
Suatu pagi mereka tiba di perkampungan nelayan di tepi sungai Yangtze.
Sungai Yangtze adalah sungai terpanjang di antara 7 sungai besar lainnya
di Tiongkok. Di bagian tengah dan hulu sungai terdapat tiga buah ngarai
yang sangat panjang dan merupakan daerah pemandangan yang sangat
terkenal keindahannya bagi para pelancong.
“Lie-heng bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan dengan menyewa
perahu sehingga bisa menghemat waktu dan lebih santai” tanya Liok Han
Ki.
“Boleh juga, aku memang belum pernah berkelana menyusuri sungai” sahut Lie Kun Liong.
Mereka lalu mencari tukang perahu yang mau menyewakan perahunya. Umumnya
tukang perahu menolak membawa mereka karena tujuannya terlalu jauh.
Beruntung seorang kakek tua bersedia membawa mereka dengan perahunya.
Sepanjang perjalanan dengan gembira Liok Han Ki melantunkan syair penyair terkenal Li Pai…
K'la pamitan Baidi dililiti awan lembayung pagi
Ribuan li menuju Jiangling ditempuh dalam sehari
Sepanjang tepi belum terputus pekikan suara lutung
Biduk ringan sudah melaju melewati gunung gemunung .
Lie Kun Liong bertepuk tangan memuji suara merdu Liok Han Ki dan berkata
“Liok-heng sayir yang engkau lantunkan sangat cocok dengan keadaan kita
sekarang, ternyata di samping pandai meniup seruling, Liok-heng juga
pandai berpantun ria”
Sambil tertawa Liok Han Ki berkata “Jangan bergurau Lie-heng, aku juga
tahu Lie-heng juga pasti pandai ilmu surat. Bagaimana kalau Lie-heng
menyumbangkan sebuah syair buat aku dengar”
“Baiklah tapi jangan ditertawakan, pengetahuan aku masih kalah jauh sama
Liok-heng” kata Lie Kun Liong. Ia melantunkan syair buatan penyair Shi
Jing…
Pohon persik muda mekar
Bunganya indah mekar menyala
Anak dara jadi menantu
Keluarga baru rukun bahagia
Pohon persik muda mekar
Buahnya ranum padat berlimpah
Anak dara jadi menantu
Rumah tangga rukun bahagia
Pohon persik muda mekar
Daunnya subur hijau raya-raya
Anak dara jadi menantu
Sanak keluarga ikut bahagia
Liok Han Ki bertepuk tangan dengan semangat dan berkata “Wah Lie-heng
rupanya sangat pandai dan memiliki pengetahuan yang dalam akan ilmu
kesusasteraan, kagum..kagum..”
“Engkau bisa saja Liok-heng” sahut Liok Kun Liong malu. Syair ini
sebenarnya aku sering dengar dari sahabat aku sehingga cukup apal, tapi
kalau di suruh melantunkan syair yang lain aku menyerah.
“Kalau boleh tahu siapa sahabat Lie-heng itu, aku jadi ingin berkenalan” kata Liok Han Ki ingin tahu.
“Namanya Cin Cin dan teman aku sejak kecil” kata Lie Kun Liong.
“Jangan-jangan dia pujaan hati Lie-heng” kata Liok Han Ki bergurau namun
wajahnya sedikit berubah tapi Lie Kun Liong memperhatikannya.
“Cin Cin aku anggap sebagai adik sendiri, Liok-heng” kata Lie Kun Liong.
Liok Han Ki tidak mendesak lagi walaupun ia sangat penasaran akan latar
belakang Lie Kun Liong karena ia mempunyai kesulitan sendiri
mengungkapkan jati dirinya.
Selama beberapa hari ke depan mereka dengan aman menyusuri sungai
Yangtze. Bila merasa bosan dengan bekal yang mereka bawa, mereka
menyuruh si kakek tukang perahu untuk menepi sebentar di kota terdekat
dan memasuki restoran yang paling besar serta memesan masakan yang enak.
Setelah puas mereka kembali ke perahu dan melanjutkan perjalanan. Untuk
urusan tidur tidak mereka persoalkan karena perahu itu cukup besar
cukup untuk beristirahat buat mereka bertiga.
Suatu hari perahu mereka sedang melaju perlahan-lahan menyusuri sungai,
disebelah kanan-kiri sungai tampak pepohonan yang lebat dan rimbun.
“Jiwi berdua kita harus hati-hati di sini biasanya banyak begal air
beraksi karena jauh dari kota ata perkampungan terdekat. Tapi setahu
lohu setahun yang lalu sudah diobrak-abrik oleh seorang pendekar, namun
siapa tahu masih ada sisa-sisa kawanan begal” kata kakek tukang perahu
sambil menengahkan dan mempercepat luncuran perahunya.
“Jangan khawatir lopek, kita akan hancurkan mereka bila masih berani
menganggu perahu yang lewat” kata Liok Han Ki. Memangnya siapa pendekar
yang sudah menghancurkan markas mereka tanyanya ingin tahu.
“Menurut yang lohu dengar pendekar itu sedang menyusuri daerah sungai
ini dengan perahunya seorang diri, tiba-tiba di serang kawan begal air
namun ternyata pendekar itu lihai sekali, seorang diri ia mengalahkan
puluhan begal air di atas perahunya. Orang bilang pendekar itu masih
muda dan julukannya adalah Si Pedang Kilat.
“Oh dia” kata Liok Han Ki.
“Apa Liok-heng kenal dengan pendekar itu” kata Lie Kun Liong. Ia ingat pernah mendengar julukan Si Pedang Kilat dari penuturan
Cin Cin sebelum ia turun gunung.
“Aku pernah bertemu beberapa kali tapi tidak begitu mengenalnya” kata
Liok Han Ki dengan wajah sedikit berubah merah namun tidak kentara oleh
Lie Kun Liong.
“Kalau tidak salah aku pernah dengar pendekar muda yang sedang naik daun
saat ini adalah Si Pedang Kilat dan Dewi Pedang” kata Lie Kun Liong.
Liok Han Ki diam tidak menanggapi seolah tidak mendengar perkataan Lie Kun Liong.
Tiba-tiba perahu mereka terguncang keras dan terdengar bunyi krak di
bawah perahu serta di tepi kiri sungai muncul belasan begal air sambil
mendayung perahu mendekati perahu mereka. Ada sekitar 5 perahu, mereka
di pimpin seorang pria tinggi besar dengan wajah berewokan.
Ternyata mereka di serang dari dalam dan luar sungai sekaligus.
“Mereka mau menenggelamkan perahu kita” kata Liok Han Ki dengan panik.
Lopek segera menepi, biar kita lawan mereka di tepi sungai. Namun sudah
terlambat untuk menepikan perahu karena perahu-perahu perompak itu sudah
dekat jaraknya.
“Liok-heng bisa berenang?” tanya Lie Kun Liong dengan gugup. Ia yang
tinggal di gunung tidak pernah belajar berenang sehingga di serang
begini rupa membuatnya rada gugup.
“Tidak bisa, aku dulu pernah belajar berenang tapi tidak diteruskan” sahut Liok Han Ki dengan gugup pula.
“Bagaimana ini” kata kakek tukang perahu sambil tetap mendayung perahunya dengan ketakutan.
“Liok-heng engkau tetap di sini melindungi tukang perahu, aku berjaga-jaga di belakang perahu” kata Lie Kun Liong buru-buru.
Para perompak itu mulai memanah mereka bertiga. Liok Han Ki sibuk
menangkis panah-panah yang mengarah ke tubuh si kakek dan ke tubuhnya.
Dengan tangkas ia menangkap anak panah-anak panah yang mengarah
ketubuhnya lalu dengan lwekangnya ia meluncur balikkan anak panah-anak
panah itu ke para perompak. Daya luncur yang sangat kuat tidak dapat di
tangkis para perompak itu, beberapa dari mereka tertembus ujung panah
dan jatuh ke sungai.
Lie Kun Long membidik para perompak yang berada di permukaan sungai
dengan anak panah yang berhasil ia tangkap. Sudah ada beberapa orang
berhasil ia bunuh dengan anak panah. Sebagian yang lain dengan cerdik
menyelam ke dalam sungai sehingga susah bagi Lie Kun Liong untuk
membidiknya.
Perahu yang mereka tumpangi mulai di guncang-guncang oleh para perompak
di bawah air dan akhirnya air mulai masuk ke dalam perahu dengan cepat.
Si kakek tukang perahu sadar sebentar lagi perahunya akan karam, lalu ia
terjun ke dalam air dan berusaha berenang ke tepi sungai.
“Liok-heng mari kita lompat ke perahu mereka, sebentar lagi perahu ini karam” teriak Lie Kun Liong.
Dengan mengembangkan ginkang, mereka melayang ke perahu para perompak
dan hinggap di bagian buritan perahu sambil memutar-mutar pedang mereka
menangkis anak panah.
Lie Kun Liong melompat ke arah perahu di mana pemimpin perompak itu
berada. Dengan cepat ia melancarkan serangan ke pemimpin perompak itu.
Tahu dirinya bukan tandingan Lie Kun Liong, pemimpin perompak itu lalu
terjun ke dalam sungai di ikuti anak-buahnya. Dengan selulup di bawah
air mereka sekarang berusaha menenggelamkan perahu yang dinaiki Lie Kun
Liong dan Liok Han Ki, sedangkan perahu yang lain sudah mereka
tenggelamkan untuk berjaga-jaga kedua pemuda itu melompat ke perahu yang
lain.
Liok Han Ki berusaha mendayung perahu yang ia naiki ke tepi sungai,
namun karena tidak menguasai ilmu dayung perahunya hanya bergerak maju
sedikit. Bagian bawah perahunya sekarang sudah kemasukan air sungai,
dengan panik ia mencoba mmbuang air yang masuk namun tiba-tiba perahunya
terguncang hebat sehingga ia kehilangan kesimbangan dan tejatuh ke
dalam sungai.
Sambil menahan nafas ia terus melawan dengan gigih para perompak itu di
dalam air. Ada sekitar lima orang perompak mengepungya di dalam air. Ia
berhasil menusuk mati dua dari lima orang perompak itu namun salah satu
perompak berhasil memegang kakinya dan menyeretnya makin jauh ke bawah
sungai.
Saking paniknya ia lupa kehabisan nafas, dengan gelagapan ia meminum air
sungai. Makin lama makin banyak air yang ia minum dan akhirnya ia tidak
tahu lagi apa yang tejadi.
Di bagian atas sungai Lie Kun Liong juga sedang keras menjaga agar
perahu yang ia rebut jangan sampai dilobangi perompak namun tidak
berhasil. Air dengan cepat mulai masuk dan membuat oleng perahunya.
Tiba-tiba ia mempunyai akal, ia mencabut beberapa lembar papan yang ada
di perahu itu dan melemparkannya ke sungai lalu ia melompat ke atas
papan yang ia lemparkan tadi. Bagaikan burung bangau ia melayang dan
menutulkan kakinya di atas papan itu sebagai tempat pijakan sementara
sambil melemparkan papan-papan kayu yang lain menuju ke tepi sungai.
Dengan menggunakan papan-papan sebagai batu loncatan ia berhasil
mencapai tepi sungai.
Ketika ia melihat ke tengah sungai, ia tidak melihat Liok Han Ki. Dengan
gugup ia berlari sepanjang sisi sungai mencari jejak kawannya itu namun
Liok Han Ki tidak kelihatan batang hidungnya.
Saat Lie Kun Liong melompat ke tepi sungai, kawanan perompak itu tidak
tahu karena mereka berada di bawah air. Dengan bersembunyi di balik
pepohonan Lie Kun Liong menunggu kawanan perompak itu keluar dari
sungai.
Tidak berapa lama kemudian, seperti yang ia harapkan kawanan perompak
itu keluar dari sungai. Jumlah meraka tinggal beberapa orang saja
termasuk pemimpin perompak serta Liok Han Ki yang pingsan kebanyakan
minum air sungai.
Dengan marah Lie Kun Liong tanpa basa basi keluar dari persembunyiannya
dan langsung menyerang para perompak dengan ilmu pedangnya. Jelas mereka
bukan tandingan Lie Kun Liong, hanya dalam waktu sekejap mereka
terbasmi habis dan hanya tinggal pemimpin perompak itu yang masih
bertahan sekuatnya. Tapi akhirnya dengan sabetan pedang yang di
lancarkan Lie Kun Liong bagaikan kilat tidak dapat ia hindarkan lagi. Ia
tewas dengan tubuh tertembus pedang Lie Kun Liong.
Lie Kun Liong dengan tergesa-gesa menghampiri Liok Han Ki yang terbaring
pingsan, mukanya pucat dan perutnya kembung. Ia membalikkan tubuh Liok
Han Ki untuk mengeluarkan air dari perut lalu memeriksa nafas Liok Han
Ki. Tidak ada nafas, dengan panik ia membuka mulut Liok Han Ki dan
menyalurkan nafas buatan dari mulut ke mulut, namun sesudah beberapa
kali mencoba tidak berhasil. Rupanya di perut Liok Han Ki masih ada air
sungai yang belum seluruhnya keluar.
Tanpa pikir panjang Lie Kun Liong menekan-nekan perut Liok Han Ki untuk
mengeluarkan air yang tersisa, lalu menempelkan telinganya di dada Liok
Han Ki untuk memeriksa denyut jantungnya. Jantungnya berhenti berdetak,
segera ia menekan ke dua tangannya ke dada Liok Han Ki namun terhalang
sesuatu yang kenyal, dengan heran ia membuka baju Liok Han Ki dan di
depan matanya terpampang dua gumpalan buah dada yang membusung dihiasi
puting kecil kemerahan – tampak segar dan ranum bagaikan buah apel segar
kemerahan dan manis rasanya.
Payudara yang membusung itu di balut oleh kulit yang putih mulus dan
lapat-lapat tercium harum aroma tubuh gadis perawan. Lie Kun Liong
terbelialak menatap gundukan buah dada yang ranumdan terawat rapi,
ternyata Liok Han Ki adalah seorang dara muda..!.
Selama hidupnya belum pernah ia melihat buah dada seorang gadis perawan.
Dengan hati berdebar-debar Lie Kun Liong menutup baju Liok Han Ki dan
dengan mengeraskan hati ia meneruskan kedua tangannya menekan dada Liok
Han Ki secara berkelanjutan sambil sekali kali meniupkan nafas ke mulut
Liok Han Ki.
Tiba-tiba Liok Han Ki tersedak dan nafasnya mulai berjalan kembali. Lie
Kun Liong menghentikan usahanya sambil menatap wajah Liok Han Ki yang
mulai berubah warnanya dari pucat ke warna kemerahan. Dengan perlahan
Liok Han Ki membuka matanya dan melihat wajah Lie Kun Liong yang masih
melongo kebingungan berlutut di samping tubuhnya.
Sambil berusaha duduk ia bertanya kepada Lie Kun Liong “Lie-heng, apa
yang terjadi, bagaimana dengan perompak-perompak tadi?” Ketika ia sedang
berbicara, sekonyong-konyong ia melihat bajunya tersingkap dan
akibatnya buah dadanya kembali tersembul keluar sebagian. Dengan
menjerit lirih ia merapatkan bajunya sambil menatap tajam Lie Kun Liong
dengan kedua bola matanya yang mulai mengeluarkan letupan-letupan
kemarahan.
“Ma..aaf caa..hyee tidak sengaja, jantung dan nafas Liok-heng berhenti,
terpaksa…” kata Lie Kun Liong dengan terbata-bata tanpa menyelesaikan
perkataannya.
Liok Han Ki segera ingat apa yang terjadi, terakhir kali ia berada di
bawah sungai sedang bertempur dengan kawanan perompak, ia sadar apa yang
dilakukan Lie Kun Liong adalah untuk menolongnya. Namun sebagai seorang
gadis ia merasa malu seorang pria telah menyentuh bibir dan melihat
buah dadanya yang putih bersih. Sambil terisak ia berlari menjauhi Lie
Kun Liong.
Lie Kun Liong diam terpaku menatap kepergian Liok Han Ki. Ia tidak
mempunyai tenaga untuk mengejarnya, sudah terlalu banyak kejadian hari
ini yang membuat dirinya shock. Dengan tubuh lunglai ia meninggalkan
tepi sungai dan melanjutkan perjalanan seorang diri.
Akhirnya ia sampai di kota dan segera mencari penginapan untuk membersihkan badan dan berharap berjumpa Liok Han Ki di situ.
Keesokan harinya ia berkeliling kota mencari Liok Han Ki namun
bayangannyapun tak tampak, gelagatnya Liok Han Ki tidak berada di kota
ini atau jangan-jangan telah berlalu dari kota ini pikirnya.
Tergesa-gesa ia kembali ke penginapan dan meminta pelayan hotel
membelikannya seekor kuda, ia berniat melanjukan perjalanan dengan
berkuda supaya lebih cepat.
Selanjutnya di Pendekar Cinta - Jilid 6
Kamis, 07 Agustus 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Dí lo que piensas...